Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perang Dukun di Mal dan Pasar Tradisional

21 September 2014   18:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:02 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi saya blusukan di pasar tradisional, di wilayah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Mungkin terlalu pagi, belum segenap kios di los pasar tersebut buka. Saya melenggang dari petak ke petak, dari los ke los dengan leluasa. Dan pikiran pun mengembara ke mana-mana.

[caption id="attachment_343657" align="aligncenter" width="561" caption="Sebuah los di pasar tradisional yang bisa aroma persaingannya melibatkan dukun. (Sumber foto: Antara)"][/caption]

Teringat seorang kerabat pernah menuturkan bahwa bila kita berdagang di pasar, maka bersiaplah untuk bergumul dalam ketat dan lelahnya persaingan. Di pasar, di los yang sama, barang yang diperjualbelikan biasanya sama. Bila sembako, maka tetangga kiri kanan juga sembako. Begitu pula bila kita 'mukim' di los pakaian, maka di situ pakaian melulu yang dijual.

Persaingan yang sering memakan hati lantaran tidak semua kios ramai pembeli. Ada kalanya satu dua orang datang ke lapak kita, tapi kostumer yang hadir di lapak tetangga lebih berjubel. Akumulasi dari sakit hati ini kemudian menciptakan inisiatif-inisiatif yang berlebihan dari para pedagang dengan menciptakan daya sedot lewat jalan pintas: dukun.

Dukun memberi aji-ajian penglaris, berupa dupa atau beras yang ditaburkan di sepanjang jalan los pasar menuju lapak pemakai jasa dukun tadi. Ada pula yang memakai jimat yang dibelitkan di meja lapak. "Saya sendiri cukup hanya menabur tanah yang dibawakan oleh Simbah, di sekitar meja lapak," ucap kerabat saya tadi. "Simbah" yang dimaksud adalah dukun di sebuah puncak bukit di wilayah Wonogiri, Jawa Tengah. Secara berkala, kerabat saya yang jualan sembako tersebut mendatangi guru spiritualnya itu untuk mrenjinakkan sengkala, yang, katanya, menyerang lapaknya. Para 'penyerang' adalah para pedagang lain yang juga menggunakan dukun untuk mendongkrak penjualan.

Berhasilkah kerabat saya yang jualan sembako di Pasar Bulu, Semarang, tersebut mengoptimalkan jasa perdukunan? Mungkin sekelebat berhasil. Keberhasilan yang diukur dengan kemampuannya membelikan motor untuk anak-anaknya, dan sukses mengantar dua putri dan satu putranya lulus kuliah. Motor-motor itu dibeli secara kontan, begitu pula uang untuk mendanai kuliah anak-anaknya juga tidak bisa dikatakan ringan.

[caption id="attachment_343659" align="alignnone" width="600" caption="Sumber foto: rimanews.com"]

1411275195385177518
1411275195385177518
[/caption]

Tetapi tentu ada efek lain bagi pengguna dukun, yakni pada ending yang tidak nyaman. Mungkin ini kebetulan saja terjadi, namun kebangkrutan merupakan akhir perjalanan para pedagang dengan sikap bergantung pada bukan Tuhan Yang Maha Agung, melainkan dukun, termasuk famili saya tersebut. Dia kini hidup di sebuah rumah kontrakan, setelah sebelumnya tampak makmur di sebuah rumah yang bagus dan besar.

Mungkin kisah seperti ini menimpa pula mereka yang terjun bebas di sebuah persengketaan antardukun di los-los pasar tradisional. Pada awalnya mereka laris dan membuat cemburu para pesaingnya, namun di kemudian hari mereka gigit jari menemukan kenyataan bahwa aura yang dibawa dunia perdukunan tak ubahnya fatamorgana: semu dan hambar rasanya.

Seorang pemilik konter ponsel di lantai atas Matahari Semarang pernah menuturkan, hampir semua pemilik konter menemui penasehat spiritual agar dagangannya laku keras. Guru-guru spiritual bukan semuanya pendeta atau kyai, melainkan juga suhu, dukun, maupun paranormal.

"Konter sebelah saya malah bela-belain ke Gunung Lawu untuk mendapat penglaris. Sudah begitu ia memperkerjakan pula SPG-SPG yang cantik dan bersusuk ... " tutur GBH (nama saya samarkan), sembari menyebutkan bahwa "susuk" yang dimaksud ialah jimat pemikat yang biasa ditusukkan oleh dukun di bibir, dahi, atau sekitar mata supaya wanita tampak ayu dan mempesona.

Olala, dukun juga laku dan berlaku di pasar modern? Jangan salah, di Semarang, ada bakso yang sangat laris di sebuah pusat perbelanjaan yang dipercayai menanam pocong di tempat usahanya supaya menyedot pembeli. Pocong tersebut disyaratkan oleh sang guru sebagai tumbal. Namun, dalam banyak kesempatan, si pemilik bakso laku ini membantah bahwa di warungnya terdapat pocong.

Dari beberapa penyelidikan kecil-kecilan saya, toko-toko besar di mal besar di kota besar macam Semarang menggunakan jasa dukun maupun paranormal agar dagangan mereka laris. Maklum saja, sewa tempat di mal jumbo macam Paragon atau Ciputra di Kota Semarang cukup mahal. Maka, untuk upaya menutup kebutuhan penting seperti itu, termasuk membayar para karyawan, pemilik usaha menempuh cara instan agar dagangannya dibeli orang.

"Tapi saya bukan salah satunya. Saya berjualan atas prinsip memberikan yang terbaik bagi pembeli, dengan kualitas barang dan pelayanan yang prima. Dukun saya Allah semata," kata Nyonya AM, pemilik toko busana muslim di sayap barat Mal Ciputra Semarang.

Setuju, Ibu!

-Arief Firhanusa-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun