Perlawanan Ahmad Dhani terhadap Jokowi dibawa-bawa dalam ranah kesenian. Tadi malam dalam ajang Rising Star Indonesia, kemudian tadi pagi dalam sebuah program infotainment (dua-duanya di stasiun RCTI), Ahmad Dhani mengaku kecewa lantaran Jokowi tidak membuat Kementerian Kebudayaan dan Seni Kreatif.
Tadi malam, dan kemudian tadi pagi, ditayangkan pula bagaimana Dhani ingin menyusun kabinet bayangan. Bahkan dia menyebut-nyebut Slank yang rencananya bakal dia rangkul agar grup band penyuport Jokowi itu bisa go international.
Sepintas, Dhani adalah musikus kritis yang (seolah-olah) memperjuangkan nasib para musikus (dan mungkin pelaku kesenian lain). Sepintas pula dia tampak ingin menjadi hero. Di Rising Star Indonesia, dia seakan menjanjikan Indah Nevertari, salah satu kontestan ajang pencarian bakat tersebut, untuk melanglang buana ke kancah dunia. Padahal, ini trik kuno ketika Dhani ingin mencari sensasi, sebagaimana dia begitu kuyub dengan beragam tingkah polah di sekitar pileg dan pilpres, yang mana dia adalah pendukung setia Prabowo Subianto.
Musikus kritis, atau seniman yang protes, galibnya dicetuskan lewat karya, bukan sering-sering ngomong memanfaatkan media televisi. Dhani patut meniru (setidaknya membaca sejarah) Koes Plus, Harry Roesli, Iwan Fals, Sawong Jabo, atau Setiawan Djodi dan Slank yang memprotes sesuatu (ketidakadilan, kesewenang-wenangan, ketimpangan-ketimpangan) melalui lagu. Pemrotes alias "Mister Complaint"Â dari kalangan seniman biasanya tidak punya kesempatan menjadi legenda, apalagi bila protes-protesnya, komplain-komplainnya, cuma untuk kepentingan dirinya sendiri saja tanpa menyentuh kepentingan rakyat jelata.
Keterwakilan rakyat cilik didapatkan pada lagu-lagu Iwan Fals, sejak Oemar Bakrie, Sumbang, Siang Seberang Istana, Ambulans Zig Zag, Bento, Surat Buat Wakil Rakyat, hingga Bongkar, dan bukannya lagu jiplakan dari We Will Rock You milik Queen untuk mempresentasikan "Indonesia Bangkit" demi Prabowo!
Ahmad Dhani tampak sangat ngebet menjadi menteri. Saya menduga, saat sangat sibuk dalam pilpres lalu dia memang dijanjikan untuk menjadi menteri. Perkara Jokowi tidak membikin Kementerian Kebudayaan dan Seni Kreatif itu salah atau benar, penting atau tidak, saya rasa apa yang dikoarkan Dhani tadi malam tampak benar dia ingin menjadi pioner, atau syukur-syukur menjadi legendaris. Sebagai Baladewa yang pernah mengaguminya dan pernah mengoleksi lagu-lagu Dewa 19, saya amat kecewa. Kalau Dhani mengaku kecewa atas kabinet Jokowi, saya kecewa karena Dhani tidak tepat memosisikan dirinya sebagai musikus besar.
Di kacamata saya, musikus besar itu tidak banyak bicara. Tidak asal ngomong. Tidak membual dengan beragam celoteh yang kelak bisa mempermalukan dirinya sendiri, semisal berjanji memotong alat kelamin ketika Jokowi menjadi presiden. Sikap Iwan Fals patut dicontoh. Dia tidak menunjukkan keberpihakan pada siapa pun, tapi karyanya tetap relevan hingga sekarang. Ataukah Dhani merasa iri pada Slank yang sering dikunjungi Jokowi?
Musikus besar seyogyanya diam-diam menyuguhkan karya-karya besar. Seandainya dia tidak sibuk dengan politiknya yang mentah, Dhani sesungguhnya seniman besar milik negeri ini yang lagu-lagunya enak didengar dan mengandung muatan indah bin dalam. Andai dia tidak larut dalam ambisi-ambisi tertentu di luar batas kewajaran, Dhani adalah figur yang ditunggu-tunggu khalayak musik lewat penampilannya yang beda, dan komentar-komentarnya yang bernas saat menjadi juri.
Sayangnya, sensasi melulu yang dia bikin, seolah dia takut tenggelam di usia muda. Kepada kompasianer, jangan terkecoh (untuk tidak mengatakan tertipu) pada pernyataan Dhani mengenai rencananya membuat kabinet bayangan, dengan bersusah payah membuat artikel di Kompasiana ini untuk khusus membahas kabinet bayangan tersebut. Cukup tulis sepak terjangnya yang mirip dagelan saja!
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H