Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nasib Pilu Penulis Skenario Daerah

20 November 2014   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:19 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_355189" align="aligncenter" width="567" caption="Diek Susanto (kiri), dalam sebuah syuting untuk TV lokal. (Foto dok pribadi)"][/caption]

Semalam saya menyambangi Diek Susanto. Dia sutradara dan penulis skenario. Siapa mengenalnya? Tak ada! Cuma beberapa gelintir insan perfilman Semarang yang tahu pria gondrong yang mendekati umur 60 tahun ini.

Diek menangis. Ya, ya, airmatanya bergulir deras. Wartawan senior yang pernah menjadi guru saya di jurnalistik itu tersedu. Saya tak menganggapnya cengeng, tapi lebih karena perih. Susah payah menulis skenario dan menyutradarai sinetron "Tidak Ada Lagi Senyum Sumi" namun film itu diikutsertakan dalam festival film Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng oleh orang lain, dan Diek tak tahu bahwa filmnya didaftarkan dalam sebuah festival, dan film itu juara ketiga!

Sutradara maupun penulis skenario dari daerah macam Diek jumlahnya bejibun di negeri ini. Tapi mencermati sinetron di TV mereka seolah memandangi ikan koi dari balik akuarium. Para produser film dan pemilik PH macam Shankar (Indika Entertainment), Leo Sutanto (SinemArt), Raam Punjabi (Multivision Plus), Manoj Punjabi (MD Entertainment), dan seterusnya sudah punya tim sendiri. Kabarnya, para lulusan IKJ mendominasi sektor ini dan bahkan mengantre.

Loh, apakah seniman dan penulis daerah memang benar-benar tak punya hak mencicipi sedikit saja kue perfilman dan pertelevisian? Tentu saja berhak. Konon banyak penulis skenario sudah mengirim karyanya agar dilirik, kemudian disinetronkan. Ah iya, dilirik saja dululah, tak perlu muluk-muluk. Siapa tahu itu lirikan jodoh. Namun apa lacur, naskah-naskah itu tak tentu rimba nasibnya. Bahkan, ini menurut cerita sejumlah kawan, ada skenario kiriman yang kemudian difilmkan, tapi naskah itu telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan penulisnya adalah orang lain! Perih. Pedih.

Kebanyakan sinetron yang kini melintas-lintas di TV adalah tontonan yang cuma memenuhi libido pemirsa yang keranjingan kisah termehek-mehek. Production house (PH) berlomba-lomba memenuhi selera tersebut, dan persetan dengan pembelajaran. Walhasil, lahirlah sinetron-sinetron yang menginjak-injak logika macam "Ganteng Ganteng Serigala" dan semacamnya.

Padahal, banyak naskah bagus dari luar Jakarta. Diek, misalnya, tadi malam memamerkan skenario idealis berjudul "Di Bawah Tiang Bendera", bertutur tentang mantan pejuang yang akhirnya wafat di TPA (tempat pembuangan akhir), tempatnya mengorek limbah selama dia menjadi pemulung.

"Tapi apa mau Mas TV kita memutar film kayak gini?" Tanya saya.

"Bukan TV-nya yang nggak mau, tapi apa sanggup PH-PH di Jakarta menggarap film macam ini ... "

"Sudah berusaha dikirimkan?"

"Nggak usah kalau akhirnya masuk keranjang sampah ... "

Saya melongo. Hati ini runyam rasanya memandangi ruang tamu Mas Diek yang tak berubin, dengan bangku kayu reot mirip kursi antre sebuah poliklinik ...

-Arief Firhanusa-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun