Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jokowi Lebih Baik daripada "Presiden Munafik"

27 Januari 2015   19:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi dari shoutussalam.com"][/caption] PADA tanggal 5 Januari 2020, Presiden Muna Fikri menandatangani permohonan grasi 45 gembong narkoba dari berbagai negara, sepuluh di antaranya WNI. Tak ayal, Presiden Munafik (akronim dari Muna Fikri, meniru SBY atau Jokowi) mendapat kecaman dari hampir seluruh warga negara negeri ini. Pelepasan para mantan terpidana mati itu diliput segenap media di pelabuhan Nusakambangan, dan sebagian di lapas-lapas lain di sejumlah kota. Liputan yang membuat geram, bahkan Komnas HAM yang pernah menghalang-halangi eksekusi mati gembong narkoba ini pun turut mengelus dada. Tadinya, Presiden Munafik merupakan pria yang gagah, ganteng, dan tidak segemuk SBY. Ia juga cerdas, berwibawa, dan seanggun Paus. Itu sebabnya capres dari Partai Anu ini pun sontak mendapat simpati publik hingga pojok-pojok terjauh Republik Indonesia. Simpati yang hadir ketika dia selalu unggul dalam debat capres. Simpati yang terus mengalir karena dia tak pernah menaikkan harga BBM, bahkan terakhir-terakhir, sebelum menyetujui grasi tadi, dia menurunkan harga premium menjadi Rp 3000 perliter. Simpati yang tetap saja membubung tinggi saat ia berada di garis terdepan tatkala di parlemen tak ada koalisi-koalisian. Semua parti berkoalisi mendukungnya, semua stasiun TV mendukungnya. Metro TV dan tvOne bahkan berencana merger. Situasi yang menciptakan aroma kental sistem presidensial yang kokoh, sehingga saat pemerintah mengajukan RAPBN yang besarnya tak karuan pun dewan langsung menyetujuinya. Cinta kepada presiden kedelapan itu tetap terjaga, meski Munafik terus menerus duduk di singgasananya mirip Kaisar Maximinus Thrax yang memimpin Romawi di awal abad ketiga. Dia antiblusukan, sebab menurutnya, blusukan tak ada artinya. Bersalaman dan menyentuh tangan warga tak ubahnya perbuatan sia-sia. Tangan presiden harus terus steril dari daki dan debu. Kaki presiden harus terus bersih dari pasir dan lumpur. Ratusan pengawal cuma menjaga sang presiden di wilayah istana. Kalaupun harus bepergian ke luar negeri untuk kunjungan, maka dia menunggang pesawat kepresidenan dengan sistem keamanan maksimum yang antara lain dilapisi sistem anti man portable air defense system (MANPADS), rudal  antipesawat yang dimiliki ISIS. Warga Negara yang Tak Pernah 'Orgasme' Sampai akhirnya Presiden Munafik memanen kritikan, kecaman, hujatan, bahkan caci maki dari rakyat sendiri ketika dia melepas bandar narkoba, dan berencana memberi grasi kepada 100-an terpidana mati lain dari berbagai kejahatan. Sabu kemudian menjadi menu utama di sudut-sudut gang tempat remaja kongkow, heroin ada di saku baju guru-guru BK di SMP dan SMA. Pil-pil daftar G tak ubahnya obat flu yang dijual di kios-kios kampung ... Kecaman juga datang saat dia diberitakan memberi proyek jalan tol Jogja-Jakarta kepada anak sulungnya, kemudian memberikan proyek pembebasan hutan di sejumlah wilayah di Kalimantan kepada putra keduanya plus proyek penerangan jalan di wilayah perbatasan, dan menguasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk putri bungsunya yang baru saja menamatkan kuliah di Australia. Padahal, Munafik belum genap tiga bulan memegang tampuk pemerintahan. Meski Partai Anu gigih membela presiden yang mereka usung, tetap saja rakyat menggeliat. Demo kecil hingga unjuk rasa besar pun digelar. Di antara spanduk yang direntangkan pengunjuk rasa bertuliskan: "Sumpah Mati Kami Masih Cinta Jokowi". Ya, pada Pemilu 9 Juli 2019, Joko Widodo tak terpilih lagi. Sebagian besar rakyat menganggap dia gagal. Dia dinilai tidak menepati janji dan memikul dosa partai. Itu mengapa ketika datang sosok kekar bernama Muna Fikri yang berambut hitam legam dan terurai mirip bintang film India di ANTV, bersorot mata tajam dan berhidung mancung macam Ariel Noah, cerdas seperti BJ Habibie dan selalu berjas berdasi, maka rakyat segera mencoblos Muna Fikri. Tak tahunya, Muna Fikri tak ubahnya pria munafik yang pura-pura ganteng untuk memanen simpati. Dia akhirnya ketahuan gemar melengos ketika rakyat ingin sekadar bersalaman, dan senang melenggang seolah tak mendengar rakyatnya menyapa ketika mereka setengah mati ingin selfie. Tetangga saya, sebut saja Idrus, pagi-pagi mengajak bergunjing. Sambil bercelana kolor dia bilang begini di pagar rumah saya, "Ah, presiden ini kok bikin saya meradang. Chasing-nya saja yang bener, dalemannya enggak benar. Nyesel saya nyoblos dia ... " Maka, dalam hati saya terkekeh. Ternyata masyarakat sulit 'orgasme' menentukan presidennya. Saat ini, ketika orang-orang mulai membandingkan Jokowi dan SBY, banyak terlontar kalimat nyinyir seperti dilontarkan sopir taksi ini: "Lebih baik SBY daripada Jokowi". Padahal, kira-kira dua tahun silam, pak sopir ini mengatakan bahwa SBY itu lamban, sok anggun, banyak pertimbangan, dan malah membuat lagu ketika rakyatnya susah, maka dia coblos Jokowi karena Jokowi cekatan, gesit, berempati, dan mau blusukan. Virus membanding-bandingkan yang membuat kita ini plin plan itu diproklamirkan oleh beberapa oknum yang menciptakan jargon "Lebih Enak Jamanku, Bro" dengan foto Presiden Soeharto di bak-bak truk. Pencipta jargon itu tampaknya paling berat memikul dosa. Maklum, dulu-dulu orang begitu kalap menyadari betapa 32 tahun Soeharto memimpin begitu banyak centang perentang di republik ini. Dan saya mencoba tak ikut-ikutan menangguk dosa dengan cara diam saja, wait and see, dan masih mempercayai bahwa krisis kepemimpinan Jokowi hanya siklus belaka. Saat menulis ini saya memutar lagu Dalam Kegelapan milik Harry Mukti. Reff-nya yang menyejukkan berbunyi begini: kegelapan yang datang tak mungkin selamanya//pasti akan berakhir//nanti akan berlalu//pasti akan berakhir//nanti akan berlalu ... -Arief Firhanusa-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun