[caption id="attachment_396177" align="aligncenter" width="392" caption="Ilustrasi dari bp.blogspot.com"][/caption]
Sepak bola Indonesia tak lekang dari peran dukun. Bahkan di turnamen-turnamen yang mempertandingkan kelompok umur pun ada campur tangan orang pintar.
Suatu ketika, tiga tahun silam, dalam sebuah turnamen antarsiswa SD yang digelar oleh Dinas Pendidikan Kota Semarang, seorang bapak mendekati saya. "Pak, iuran 30 ribu ya. Yang 10 ribu untuk nonteknis, sisanya untuk makan anak-anak," ujar ayah seorang pemain dalam tim yang diperkuat anak saya. Tim ini mewakili kecamatan tempat SD anak saya mukim.
'Nonteknis' yang ada dalam benak saya adalah menyuap wasit. Tahu saya celingukan tak paham apa yang dimaksudkan, si bapak menjelaskan bahwa kami perlu dukun agar tidak kebobolan, dan memenangi pertandingan. Setengah hati saya memberi Rp 30 ribu kepadanya. Untuk keperluan membeli nasi bungkus buat pemain saya ikhlas saja, tapi yang Rp 10 ribu untuk dukun itu ada ganjalan di hati saya. Terkumpul Rp 500-an ribu dari seluruh orangtua, yang Rp 150 ribu untuk membayar orang pintar selama dua hari turnamen.
Hari H pun datang. Seraya menonton pertandingan, saya amati di kursi penonton di belakang gawang tim kami di Stadion Citarum ada pria berambut panjang yang diikat ekor kuda. Usianya kurang dari 40 tahun. Berbaju biasa, malah terlalu trendi untuk seorang dukun. Sempat saya bayangkan 'suhu' itu pakai baju putih ala pendekar dan kain cokelat membelit kepala seperti Wiro Sableng.
Sepanjang pertandingan Pak Dukun sangat fokus. Sorot matanya mengikuti ke mana pun bola berlari. Dalam sebuah momen, entah karena anak saya memang berbakat atau ini kebetulan saja, ada bola yang ditendang jauh ke depan di mana anak saya yang ditugasi sebagai striker berdiri bebas. Ajaib, sekali kontrol dan kemudian mendribel bola beberapa langkah ke depan, anak saya itu menembak dari jarak cukup jauh. Bola melengkung seperti dibimbing angin menuju pojok atas, dan menohok tanpa ampun jala gawang lawan. Satu kosong untuk tim kami.
Di babak kedua, terjadi hal serupa. Entah angin memang tengah berpihak, atau memang dukun itu sakti adanya, bola dikuasai pemain kami di rusuk kanan. Meliuk sebentar, pemain ini menembak dengan kaki kiri dan membuat lengkungan yang tak terduga di tiang jauh gawang lawan. Kiper tak mampu menjangkaunya sebab bola begitu deras datangnya. Gol yang cantik, dan Pak Dukun saya lirik amat puas di tengah sorak-sorai suporter kami. Cukup memang 2-0 di semifinal. Kemudian menang 1-0 di final, dan tim kami pun juara. Di partai puncak, dukun tadi masih ada di sana, dan lantaran kami juara, maka ada iuran lagi untuk menambahi Rp 150 untuk uang saku Pak Dukun.
Air Minum Sakti, Garam Ditebarkan, Handuk Diusapkan
Praktik perdukunan di lapangan sepak bola beraneka ragam caranya. Ada yang seperti di atas tadi, ada motif-motif lain yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Misalnya saja menaruh handuk basah di jaring gawang kita. Handuk kecil ini tentu saja sudah di-hewes-hewes Pak Dukun, agar gawang tak mudah kebobolan. Ada pula handuk basah yang telah 'terisi' diusap-usapkan di kepala seluruh pemain supaya mereka tak lelah dan berani beradu badan.
Yang lazim dipraktikkan oleh orangtua pemain -- dan diketahui oleh pelatihnya -- adalah meminumkan air ke semua pemain. Biasanya air dari mbah dukun ditaruh dalam botol besar minuman kemasan. Setiap akan bertanding dalam satu turnamen, semua anak bergiliran minum air tadi. Terkadang ada orangtua yang melarang anaknya minum air sakti ini, tapi lama-lama ikut juga karena -- entah mengapa -- di pertandingan dia merasa lemas.
Corak lain adalah menebarkan garam. Garam dari pak dukun digenggam oleh kapten tim (atau siapa pun yang bersedia, biasanya kiper), lalu ditebar-tebarkan di lapangan saat dua kubu pemanasan. Kaki si pembawa garam pura-pura serius melakukan peregangan, tapi telapaknya sibuk mengibas-ngibaskan bumbu dapur itu. Kita bisa memprediksi, penebaran garam ini dimaksudkan agar tim lawan lemas, atau salah tingkah saat menguasai bola sehingga sulit bagi mereka mencetak gol.
Perilaku paling ringan yang pernah saya jumpai adalah para pemain dianjurkan membalik celana dalam, yang bagian dalam menjadi di luar, yang harusnya di luar dibalik menjadi bagian dalam. Lalu mereka dianjurkan menjejak-jejak garis sebanyak tiga kali dengan kaki kiri saat mereka memasuki lapangan sebelum pertandingan. Ini tak ubahnya sugesti saja karena si pelatih (yang mungkin antidukun) mewajibkan pemain membaca-baca doa.
Pertanyaannya, bagaimana bila kubu lawan juga membawa jimat atau mengusung dukun? Kata beberapa kawan, tergantung keampuhan sang dukun. Juga tergantung domisili si orang pintar. Bila orang pintar dibawa dari daerah asal, maka konon kesaktiannya berkurang lantaran dukun tak boleh menyeberangi sungai (apalagi laut) menuju lokasi turnamen. Itu sebabnya, beberapa pelatih yang pernah bilang, sebaiknya dukun dicari di kota tempat turnamen digelar.
Pemain 'Gerilya' Sendiri
Selain 'booking' wasit secara tim, banyak pula bocah-bocah itu diajak oleh orangtuanya mendatangi rumah dukun. Di sana para bibit muda persepakbolaan Indonesia itu diberi jampi-jampi, atau malah tersiar kabar kaki mereka di-'isi'. Entah dalam bentuk apa isi kaki para pemain ini, yang pasti mereka percaya anak-anak itu larinya lebih kencang dan tidak minder.
Mbah dukun ini cukup laris. Tak hanya pemain-pemain kecil yang mendatangi, remaja hingga pemain senior pun kerapkali 'berguru' ke sini supaya lebih hebat saat pertandingan. Menjelang pertandingan, mereka datang dan meminta 'restu'. Konon pemain-pemain di Liga Indonesia -- baik sekelas Liga Nusantara hingga ISL -- pun minta diisi.
Kenikmatan Sesaat
Praktik perdukunan di kalangan sekolah sepak bola di negeri ini tentu saja tak melibatkan seluruh SSB. Banyak SSB yang lebih mengutamakan keahlian teknik pemain maupun taktik pelatih. Rasa-rasanya 'doping' wasit ini banyak terjadi di wilayah Jawa saja. Itu pun tidak semua kota di Jawa punya tradisi serupa.
Membayar dukun tak ubahnya mencecap kenikmatan sesaat. Orangtua ingin anaknya bermain bagus sehingga tak diejek orangtua pemain lainnya. Mereka bisa bercerita pada orang lain tentang kehebatan sang putra, dan putranya ini disegani karena jagoan di kota bersangkutan. Bagi pelatih, keberadaan dukun juga menguntungkan. Mereka dianggap mahir memoles tim bocah, dan menjadi perbincangan, padahal 'pelatih' sesungguhnya ya dukun itu tadi. Itu mengapa pelatih-pelatih ini menutup mata saat orangtua sibuk mencari dukun.
Kebanggaan sebagai orangtua punya anak jago main bola ini harganya tak ternilai, tanpa mereka sadari bahwa menyeret anak ke perklenikan tak ubahnya membangun jurang. Masa depan mereka terpangkas jurang yang sulit dilewati itu. Menjadi pemain hebat untuk tim nasional tidak sesederhana garam dukun dan air sakti. Butuh ketelatenan berlatih, tekun menyerap ilmu, dan disiplin menjaga kondisi.
Tak ada satu pun dukun di dunia ini yang bisa mencetak Lionel Messi. Bertahun-tahun saya menggenggam prinsip itu, meski kualitas anak saya biasa-biasa saja. Dan saya mensyukurinya.
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H