Mohon tunggu...
Arief Firhanusa
Arief Firhanusa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pria yang sangat gentar pada ular

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Soal Batik, Saya Keok dari Jokowi

12 Februari 2015   16:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="okeinfo.net"][/caption] Saya ini manusia praktis. Kemana-mana, bahkan mendatangi resepsi, pakai jins, T-shirt, atau kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung. Hingga kemudian datanglah undangan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk sebuah penghargaam yang syaratnya: harus memakai batik! Kelabakan, kemarin sore saya bergegas mendatangi toko busana muslim terkemuka yang juga menjual batik di kawasan oleh-oleh Jalan Pandanaran Semarang. Berbaur dengan ibu-ibu cantik, wangi, dan borju, saya memilih-milih batik di bawah anak tangga menuju lantai 2. Tampilan yang menurut mereka mungkin aneh sebab saya masih menggendong tas laptop, berkaus oblong, dan kucal. Beberapa wanita menutup hidung. Mungkin bau badan saya tak karu-karuan, hahahaha ... Salah siapa! Dan inilah penderitaan saya. Dihadapkan pada gerai batik dengan pilihan yang sangat banyak baik corak, ukuran, merk, hingga harga, saya bingung bukan kepalang. Satu jam saya hilir mudik, meraba, menarik baju dari gantungan, mematut-matut di kaca, sampai meminta SPG di sana untuk memilihkan. Tapi tak satupun saya mengakhirinya dengan pilihan. Sempat saya menemukan batik lengan pendek produk terkenal. Harganya Rp 126 ribu. Warnanya cerah, cukup untuk mengubur kulit saya yang agak cokelat. Saya tenteng ke kamar pas. Di sana, saya sempat gembira lantaran mendadak saya merasa sangat ganteng. Tetapi semenit kemudian saya kegerahan. Keringat meleleh dari ketiak. Olala, ternyata bahannya panas si badan. Saya pun mengurungkan niat membeli batik ini. Lalu beralih produk lain, warna dasarnya putih ditopang batik kembang kemerahan. Nah, ini dia! Saya tarik dari display, saya bawa ke kamar ganti. Saat saya pakai, baju ukuran M ini terlalu longgar. Bagian bawahnya tidak membuat nyaman karena jatuh sampai hampir tengah paha. Saya protes pada si mbak penjaga batik. "Masa ukuran M segini besar?" Ujar saya seolah pemilik toko. Si mbak penjaga yang cantik itu mencurahkan kalimat yang mengunci kengeyelan saya: "Iya Pak, dari sononya memang begitu. Ukuran S yang Bapak minta nggak ada. Kalau nggak cocok dengan ini, coba cari merk lain ... " Saya pun ngeloyor. Balik ke deretan baju batik yang digantung. Berulangkali saya melihat orang memakai batik, dan batik itu sangat enak dilihat. Si pemakai tampak gagah dan percaya diri. Tapi begitu sampai toko, tak ada satupun batik yang memuaskan, yang bisa meniru orang-orang gagah berbatik. Bisa karena banyak pilihan yang akhirnya membingungkan, tapi lebih tepat karena kesalahan saya sendiri yang tak mengakrabi batik sejak dini. Sebab itu, saya kagum pada Jokowi yang selalu tampak tampan saat memakai batik. Entah mahal entah murah, batik yang dipakai presiden sungguh membuatnya enak dilihat. Pengawal-pengawalnya pun tak pernah ada yang punya batik bagus, atau kalau pun batik Paspampres itu bagus tapi tetap saja mereka tidak tampak elegan memakai batik. Saya akhirnya balik kanan tanpa menenteng batik. Dan karena undangan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan itu harus besok saya datangi, maka selesai menulis ini saya akan balik ke toko itu, atau toko lainnya, untuk membayar kesalahan saya yang tak pernah intim dengan batik! -Arief Firhanusa-

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun