--
Farhat mengutarakan pendapatnya secara runtut di depan saya. Aksentuasi dan intonasinya jelas, khas pengacara (saya membatin, mungkin pria asal Indragiri Hilir, Riau, ini mewarisi kemampuan Abbas Said, mantan Hakim Agung RI, dalam melafalkan kajian-kajian), dan masih terus saya anggap sebagai sahabat, sampai kemudian dia pamitan.
Berjalan menuju mobil yang akan mengantarnya ke bandara, saya pandangi punggungnya. Jujur saya merasa kasihan. Mungkin dia puas atas semua komentarnya dalam Twitter yang sering menyengat perasaan orang, tetapi bisa jadi dia juga tidak nyenyak dalm tidurnya karena ada sesuatu yang mengganjal sesudah melabrak orang lewat kalimat tertulis di media sosial.
Dia hanya menyuarakan isi hati, menggumamkan ketidaksetujuannya, mengucapkan apa yang menurutnya benar di negara yang demokratis ini, tetapi sebagian besar orang tidak suka pada pria ini, dan bahkan ada komentar yang mengatakan bahwa Farhat cuma memburu sensasi dan pantas diadakan pengumpulan koin untuknya ...
Jangan-jangan, sayalah yang tidak waras karena mengundang makan Farhat Abbas. Atau, siapa tahu Anda yang keblinger karena tetap saja merespon komentar-komentar Farhat di Twitter. Padahal, dia mungkin juga akan bosan bila kicauannya tak ditanggapi ...
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H