Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi semua jenis unggas, manusia, babi, kuda, dan anjing. Penyakit ini disebabkan oleh virus Influenza type A dari famili Orthomyxoviridae. Virus AI dapat menginfeksi spesies unggas baru dan menyebabkan peningkatan penyakit secara epidemik maupun endemik. Penyakit ini telah mewabah di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia, dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung yang terinfeksi (Yuniwarti et al. 2013) serta adanya risiko penyebaran penyakit melalui penjualan unggas hidup (Wicaksono 2012).
Dampak negatif AI dapat mengakibatkan kerugian ekonomi maupun kesehatan hewan dan manusia. Penyakit AI lebih banyak mendapatkan perhatian dibandingkan dengan penyakit unggas lainnya karena sifatnya dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis) dan dapat menyebabkan kematian pada manusia (Marbawati 2007). Gejala klinis penyakit ini sulit dideteksi karena mirip dengan penyakit unggas lainnya, misalnya penurunan produksi telur yang merupakan gejala klinis penyakit Newcastle Disease (ND), Infectious Laryngotrachaetis (ILT), Infectious Bronchitis (IB), Fowl cholera, dan infeksi bakteri Escherichia coli (Krafft et al. 2005).
Wabah AI pada unggas pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 2003 hingga tahun 2004. Angka kesakitan dan kematian pada ayam petelur yang ditimbulkan wabah ini adalah 90%. Penyebarannya berlangsung sangat cepat sehingga virus AI menyebar hampir ke seluruh Indonesia (Dharmayanti et al. 2004). Jumlah kasus penyakit AI pada ayam petelur di Indonesia per 31 Januari 2014 diketahui sebanyak 10.286 kasus sejak terjadinya wabah AI pertama kali di Indonesia. Laporan tersebut berdasarkan hasil uji cepat (rapid test) yang dilaporkan tim PDSR (Participatory Disease Surveillance and Response) melalui SMS (Short Message Service) Gateway secara nasional (DITJEN PKH 2014). Thaha et al. (2018) melaporkan kejadian AI di wilayah Sulawesi, yakni sebanyak 81,25% kecamatan dan 31,74% desa di Kabupaten Polewali Mandar dengan jumlah kematian yang tinggi. Penelitian lain melaporkan seroprevalensi yang rendah sebesar 4,4% pada salah satu kecamatan di Sulawesi Utara (Murtini et al. 2022).
Wabah AI di Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Pinrang telah dilaporkan sejak 2004 dan dengan cepat menyebar luas di seluruh wilayah. Berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang, AI muncul pada tahun 2004 yang awalnya menginfeksi daerah perbatasan kemudian masuk ke wilayah Kabupaten Pinrang. Kejadian AI pada unggas selama bulan Februari 2017 sebanyak 24 kejadian di 24 desa pada 17 Kab/kota di 9 Provinsi, salah satunya adalah Kabupaten Pinrang di Kecamatan Lanrisang (DITJEN PKH 2017). Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dalam pengendalian penyakit belum bisa mengurangi kasus di setiap tahunnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut tentang tingkat kejadian penyakit AI, khususnya pada ayam petelur, di Kabupaten Pinrang.
Kasus AI di Kabupaten Pinrang selama 3 tahun terakhir tercatat sebanyak 7.718 kasus. Setiap tahun kasus AI berada di kecamatan yang berbeda. Kecamatan Batulappa, Lembang, Paleteang, Suppa, Tiroang, dan Cempa 3 tahun terakhir dilaporkan tidak ada kasus AI, berbeda dari Kecamatan Duampanua, Mattiro Bulu, Watang Sawitto, dan Mattiro Sompe tercatat adanya kasus AI pada tahun 2016. Pada tahun 2017, satu kecamatan yang dilaporkan adanya kasus AI adalah Kecamatan Lanrisang sebanyak 136 kasus. Sementara itu, pada tahun 2018 dilaporkan terdapat 6.600 kasus di Kecamatan Patampanua yang dikategorikan sebagai kasus terbanyak selama 3 tahun terakhir.
Jumlah kasus AI setiap tahunnya mengalami fluktuasi, namun tidak merata di setiap kecamatan. Tinggi rendahnya kasus dipengaruhi oleh kecepatan penyebaran AI dan kemampuan petugas lapangan maupun peternak dalam melihat gejala klinis ayam yang sakit (Susanti 2021). Sistem pelaporan iSIKHNAS mempermudah dinas dalam merekap data langsung dari lapang dan menyajikan data kepada masyarakat yang membutuhkan (Nuriski et al. 2020). Kabupaten Pinrang belum memiliki laboratorium untuk pemeriksaan lanjutan dalam menegakkan diagnosis sehingga sampel yang didapatkan berupa darah, organ, atau swab trakhea dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros untuk diperiksa.
Diagnosis AI dapat dilakukan di lapangan berdasarkan gejala klinis dan patologis pada unggas yang diduga terinfeksi AI, setelah itu dilakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium. Cara mendiagnosis kasus AI di Kabupaten Pinrang sudah sesuai, yakni dengan melihat gejala klinis pada unggas kemudian melakukan kordinasi antara petugas, selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan di BBVET Maros. Gejala klinis AI sangat bervariasi, untuk itu diperlukan suatu diagnosis definitif berdasarkan hasil diagnosis laboratorium yang mana faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan sebelum melakukan diagnosis laboratorium adalah jenis sampel dan cara penanganannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara virologis dengan cara inokulasi suspensi spesimen, secara serologis dengan uji Agar Gel Immunodifusion (AGID), uji Haemagglutination Inhibition (HI), dan secara molekuler keberadaan virus AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), real time RT-PCR, atau sekuensing genetik (DITJEN PKH 2014).
Manajemen pemeliharan merupakan salah satu faktor penyebaran penyakit, dan manajemen pemeliharaan yang buruk sangat berpengaruh sehingga dapat menyebabkan penyakit menyebar di berbagai wilayah dan berakibat fatal. Permasalahan perkandangan harus ditangani dengan tepat sebab dapat menimbulkan kerugian sekitar 10‒20% dari pendapatan peternak karena ayam tidak merasa nyaman dan produktivitasnya menurun.
Menurut Priyatno (2004), kandang sebaiknya dibuat dengan sistem dinding terbuka agar hembusan angin dapat masuk dengan leluasa, tetapi sangat berpengaruh pada iklim di daerah tersebut. Kandang sistem baterai, yaitu kandang berbentuk sangkar yang disusun berderet, keuntungannya adalah tingkat produksi individual dan kesehatan masing-masing ayam dapat dikontrol, mulai dari pakan, kanibalisme, dan penyakit yang mudah menginfeksi satu sama lain. Sistem close house, yaitu kandang dengan dinding tertutup dan biasanya terbuat dari bahan permanen dengan penggunaan teknologi tinggi. Dengan demikian, close house mempunyai ventilasi yang baik yang mampu mengurangi dampak kelembapan udara yang tinggi, dengan memanfaatkan efek wind chill dalam kandang (Marom et al. 2017). Asal ternak, khususnya unggas, mayoritas berasal dari luar daerah, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan yang ketat pada saat unggas masuk dan keluar yang merupakan salah satu upaya pengendalian penyakit.
Sistem pelaporan di Kabupaten Pinrang sudah menggunakan integrated-Sistem Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS) sejak tahun 2016, dan AI masuk ke dalam sistem pelaporan tersebut. iSIKHNAS adalah sistem informasi kesehatan hewan Indonesia yang memudahkan pemerintah mengumpulkan data ternak dari lapangan dan segera menyediakannya kepada masyarakat yang membutuhkan (Wiki iSIKHNAS 2019; Fitria et al. 2020).
Menurut Permentan nomor 64 tahun 2007, sumber daya manusia yang bertugas di Puskeswan (Pusat Kesehatan Hewan) paling kurang terdiri atas 1 orang dokter hewan, 2 orang paramedik veteriner, 4 orang teknis puskeswan yang terdiri atas asisten teknis reproduksi, petugas pemeriksa kebuntingan, inseminator, dan vaksinator. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner bahwa jumlah dokter hewan berwewenang ditetapkan berdasarkan jenis, beban kerja, dan jangkauan tugas pelayanan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di wilayah kerjanya. Berdasarkan peraturan tersebut, jumlah dokter hewan dan staf lainnya belum ideal dan dikategorikan kurang. Puskeswan memiliki sarana transportasi satu unit kendaraan roda dua yang digunakan dalam pemeriksaan lapangan. Fasilitas kesehatan hewan yang kurang menyebabkan respons petugas yang lambat terhadap kasus penyakit sehingga meningkatkan risiko penyebaran kasus AI di wilayah tersebut.
Upaya pengendalian untuk daerah yang berisiko perlu untuk diperkuat dengan cara meningkatkan biosekuritas, depopulasi dan stamping out di daerah tertular baru, vaksinasi, surveilans, sosialisasi rutin, dan monitoring. Di samping itu, meningkatkan fasilitas dan sumber daya kesehatan hewan juga diperlukan agar pengendalian avian influenza dapat berjalan lebih optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H