Indonesia merupakan negara yang disebut-sebut sebagai negara dengan jumlah populasi umat muslim terbesar di dunia, melampaui jumlah penganut agama Islam  di negara-negara Arab yang notabene-nya merupakan daerah awalnya Islam itu berkembang. Berdasarkan dari laporan The Royal Islamic Studies Centre atau  MABDA dengan judul The Muslim edisi 2022, ada 231,06 juta penduduk Indonesia menganut agama Islam.
Dengan jumlah penganut agama  Islam yang sebesar itu, maka tak heran jika banyak pusat-pusat pendidikan agama Islam yang berkembang di Indonesia. Terbukti dengan semakin banyaknya  pondok pesantren yang tersebar di seluruh daerah. Nah, dari sinilah cikal bakal lahirnya para bibit generasi unggul yang biasa disebut dengan santri.
Namun, sebentar dulu. Apakah julukan santri hanya boleh disematkan untuk mereka yang belajarnya di pondok pesantren? Dan apakah setiap santri itu memang baik dan selalu sesuai syariat Islam?Â
Mari kita bahas satu per satu terlebih dahulu. Dari definisi santri dulu, deh. Kalau lihat KBBI, santri merupakan 1) orang yang mendalami agama Islam; 2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.
Jadi, kalau dilihat dari pengertian KBBI tersebut, ga heran santri itu identik dengan mereka yang belajar di pondok pesantren. Karena di pondok pesantrenlah pembelajaran ilmu agama lebih banyak didapatkan.
Baiklah, ga usah terlalu lama di pembahasan definisi ya, karena itu bisa cari di google aja, banyak.
Nah, daripada definisi ada yang lebih menarik untuk dibincangkan. Yaitu terkait sejarah adanya peringatan hari santri dan bagaimana peranan umat muslim terutama elemen pondok pesantren (kiai dan santri) pada masa lampau untuk negeri ini hingga diadakan peringatan hari santri nasional.Â
Setelah ditilik ke belakang, ternyata para santri menyumbang andil peran cukup besar yang sangat luar biasa saat Resolusi Jihad yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945. Puncaknya pada tanggal 10 November 1945, yang diperingati sebagai hari pahlawan itu, para santri bersama dengan masyarakat ikut turun tangan dalam menghadapi kolonel penjajah.Â
Para santri beserta dengan kyai juga punya peran tersendiri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terbukti dengan addanya rumusan pancasila sebagai dasar negara pada muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo pada tahun 1984. Karena eksistensi nyata para santri tersebutlah yang membuat masyarakat sangat mengapresiasi kehadiran mereka.
Namun, kalau dilihat-lihat sekarang ya, santri kurang banyak mengambil peran sebagai poros penggerak perubahan di masyarakat. Jika dulunya santri dikenal sebagai pahlawan yang memiliki semangat juang tinggi, justru sekarang malah dikenal dengan sekumpulan orang yang membawa paham radikal dan ekstremisme dengan berbagai pemikiran dangkal sehingga dianggap sangat meresahkan bagi masyarakat.
Tentunya hal ini menjadi pahit getir bagi generasi umat Islam, terutama bagi santri di Indonesia. Maka dari itu, perlu untuk kita analisis, ditelaah bersama terkait apa yang menjadi penyebab yang demikian itu bisa terjadi agar bisa menemukan solusi dari permasalahan pergeseran kualitas para santri ini.
Tak laik jika tadi hanya menyebutkan bahwa generasi santri saat ini mengalami pergeseran kualitas tanpa ada buktinya. Oke, kita ga usah jauh-jauh ambil contohnya, apalagi yang tingkatnya udah di skala nasional dan politiknya.Â
Belum lama ini, ada pemberitaan kasus santri Gontor yang meninggal akibat dianiaya oleh dua orang seniornya. Seorang santri ini melakukan penganiayaan, padahal 24 jam mendapat pendidikan agama. Dengan agama, harusnya karakter dapat dibentuk jadi lebih baik sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah Saw.
Ini merupakan bukti nyata sudah terjadi degradasi moral di kalangan santri. Yang harusnya bisa mengedepankan teladan yang baik, yang ada malah bablas, lepas tanpa ada kendali diri yang ujungnya jadi budak emosi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H