Mohon tunggu...
Firda Uzlifatul Ulya
Firda Uzlifatul Ulya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

Undergraduate student who interested in low politics issues.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etnis Kurdi, Suku Terbesar Keempat di Timur Tengah Tanpa Negara

7 Juli 2022   21:15 Diperbarui: 7 Juli 2022   21:24 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengungsi Kurdi yang termarjinalkan di Timur Tengah

Etnis Kurdi merupakan salah satu kelompok etnik yang menjadi penduduk asli daratan Mesopotamia dan dataran tinggi bagian tenggara Turki, barat laut Suriah, Irak Utara, Iran barat laut, dan Armenia barat daya. Sekitar 25 hingga 35 juta orang Kurdi mendiami kawasan tersebut termasuk komunitas di Armenia, Georgia, Kazakhstan, Lebanon, Suriah, dan Eropa. Bahkan agama dan kepercayaan bangsa Kurdi berbeda, 

beberapa dari orang Kurdi menganut agama Kristen, Yahudi, Yazidi, dan Zoroastrian meskipun mayoritas dari mereka menganut Muslim Sunni. Bahasa yang digunakan oleh Bangsa Kurdi mayoritas adalah bahasa Kurdi dan bahasa Iran Barat yang berkaitan juga dengan bahasa Persia dan Pashto. Pengidentifikasian bangsa Kurdi masih menimbulkan keambiguan. 

Beberapa dari keturunan Kurdi baik dari ayah, ibu ataupun keduanya meskipun tidak berbicara bahasa Kurdi sebagai bahasa ibu mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Kurdi.

Kehidupan bangsa Kurdi cenderung nomaden atau berpindah-pindah tempat, berputar di sekitar penggembalaan domba dan kambing serta praktik pertanian marginal. Pemberlakuan batas-batas nasional pasca Perang Dunia I menghambat migrasi musiman ternak dan memaksa sebagian besar Bangsa Kurdi untuk meninggalkan cara hidup tradisionalnya dengan hidup menetap di desa sambil bertani atau bekerja di sektor non-tradisional. 

Masyarakat tradisional Kurdi umumnya dipimpin oleh seorang syekh atau aga. Identifikasi kesukuan dan otoritas syekh masih sangat terasa meskipun di daerah perkotaan besar masih berada pada tingkatan yang lebih rendah. 

Dalam masyarakat tradisional Kurdi, pernikahan umumnya bersifat endogami atau perkawinan dalam lingkungan yang sama. 

Di daerah non-perkotaan, praktik perjodohan, pernikahan anak, dan poligami terkadang masih dipraktikkan dengan alasan bahwa hal tersebut diperbolehkan oleh hukum islam. Sebagai kelompok etnik terbesar keempat di Timur Tengah, hingga saat ini bangsa Kurdi tidak memiliki negara sendiri.

Bahasa Kurdi telah mengalami penolakan dan penindasan, sementara tanah Kurdi tidak memiliki perbatasan yang diakui secara internasional. Di berbagai negara, bangsa Kurdi terdesak untuk menjadi sasaran kebijakan asimilasi dan kekerasan yang menjadi dasar memori kolektif bangsa Kurdi. 

Pada awal abad ke-20 pasca berakhirnya Perang Dunia I dan kekalahan kekhalifahan Turki Usmani, orang Kurdi mempertimbangkan pembentukan negara yang disebut sebagai 'Kurdistan' melalui Perjanjian Sevres. 

Namun, tiga tahun kemudian perbatasan Turki modern akhirnya ditetapkan melalui Perjanjian Lausanne yang membuat rencana pendirian negara Kurdistan dibatalkan sehingga menyebabkan bangsa Kurdi menjadi kelompok minoritas di negara-negara yang baru muncul. Bahkan selama 80 tahun terakhir, upaya Bangsa Kurdi untuk mendirikan negara Kurdi merdeka selalu digagalkan.

Menariknya, di era modern ini bangsa Kurdi telah berangsur-angsur meninggalkan kehidupan etnis yang patriarki dan berjalan maju ke depan dengan perjuangan nasionalistik Kurdi yang membantu pergerakan wanita. Perempuan mulai membela diri mereka sendiri. 

Organisasi non-pemerintah lokal, Kamer Foundation, turut berdiri di samping para wanita Kurdi dalam solidaritas perempuan "jalan menuju demokrasi melalui kesetaraan gender". 

Meskipun beberapa dari para sukarelawan wanita telah menjadi korban kekerasan di masa lalu, potongan-potongan memori yang telah dikumpulkan memotivasi untuk mulai naik dan membangun kembali kehidupan sembari menjangkau dan mendukung pemulihan perempuan dan anak-anak dari semua etnis. 

Berbekal tujuan pemberdayaan melalui pengetahuan, kesuksesan besar berhasil diraih melalui permainan ibu dan anak-anak yang mana di sisi lain para pria sangat mendukung. Harapan satu-satunya adalah generasi baru yang lahir di masa depan akan menolak kekerasan dan tumbuh sebagai pria dan wanita dalam rasa saling menghormati. 

Selain itu, budaya populer yang menarik dari bangsa Kurdi adalah sinema Kurdi. Hibriditas sinema Kurdi dalam bahasa, ruang, dan memori membahas situasi sehari-hari yang dihadapi oleh komunitas Kurdi yang beragam dan berbagai klaim agar bangsa Kurdi mendapatkan pengakuan. 

Berbagai sinema Kurdi mengartikulasikan masing-masing komponen yang mengacu pada sejarah traumatis yang dialami oleh berbagai bangsa Kurdi, tetapi tetap mengacu pada subjek kontemporer budaya Kurdi. 

Salah satu karakteristik dari sinema Kurdi yang paling jelas dan secara langsung terkait dengan kondisi bangsa Kurdi yang tanpa kewarganegaraan di era negara-bangsa modern yakni kurangnya elemen vital dari industri film nasional yang dimaksudkan untuk mendanai pengembangnnya. 

Kurangnya dukungan keuangan membuat bahasa Kurdi hanya terdengar sebagian. Namun, situasi bangsa Kurdi yang tanpa kewarganegaraan tidak menjadi halangan. Sinema sebagai sarana identifikasi dan pengakuan yang paling menonjol bagi pengalaman modernisme Kurdi. 

Referensi:

Ahmet, Hannah Ait, 2020. "Exploring Kurdish Life & Culture in Diyarbakir" [daring]. dalam https://thekurdishproject.org/exploring-kurdish-life-culture-in-diyarbaki/ [diakses pada 7 Juli 2022].

BBC, 2019. "Who are the Kurds?" [daring]. dalam https://www.bbc.com/news/world-middle-east-29702440 [diakses pada 7 Juli 2022].

Britanica, 2022. "Kurd" [daring]. dalam https://www.britannica.com/topic/Kurd [diakes pada 7 Juli 2022].

Mutlu, Servet, 1996. "Ethnic Kurds in Turkey: A Demographic Study", International Journal of Middle East Studies, 28(4): 517-541.

Simsek, Bahar, 2019. "Kurdish Cinema", dalam Gunter, Michael M., (ed.), 2019. Routledge Handbook on the Kurds. New York: Routledge.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun