Kota transit adalah sebutan bagi Kota Banyuwangi. Kota yang terkenal akan hal-hal mistisnya ini hanya menjadi tempat persinggahan bagi lalu lintas Jawa dan Bali. Hal inilah yang menyebabkan Banyuwangi susah maju, karena akses transportasinya yang sulit.
Akses ke Banyuwangi melalui jalan darat memang sudah mulus, namun sayangnya jaraknya masih cukup jauh. Untuk ke Surabaya jaraknya 300 Km dengan waktu tempuh 7-8 jam, pastinya banyak yang akan berpikir ulang untuk mengunjungi Banyuwangi.
Maka satu-satunya cara untuk dapat mengembangkan Banyuwangi adalah dengan pembangunan bandara. Sebab satu-satunya akses termudah dan tercepat untuk mencapai Banyuwangi adalah dengan  menggunakan pesawat.
Pembangunan bandara di Banyuwangi sebenarnya sudah di rencanakan sejak masa kepemimpinan Bapak Samsul Hadi, Bupati Banyuwangi periode tahun 2000-2005. Bandara ini lokasinya berada di Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi, sekitar 17 Km dari pusat kota Banyuwangi sendiri.
Namun pembangunan tersebut sempat mangkrak bertahun-tahun. Bahkan pembangunan ini juga menyeret Bupati Samsul Hadi dan Bupati Ratna kedalam penjara karena kasus pembebasan lahan.setelah semprat mangkrak cukup lama, akhirnya pembangunan ini dilanjutkan hingga pada tanggal 29 Desember 2010 penerbangan komersial dibuka untuk pertama kalinya.
Bandara Banyuwangi ini terus mengalami perkembangan tiap tahunnya. Pada tahap awal bandara Banyuwangi hanya memiliki landasan pacu sepanjang 900 m dan lebar 23 m di tahun 2005. Lalu pada tahun 2012 landasan pacunya ditambah menjadi 1.800 m dan meningkat lagi pada tahun 2015 menjadi 2.225 m.
Pembangunan Bandara Banyuwangi hanya menghabiskan dana sekitar 45 M. Bisa dibilang pembangunan ini cukup murah dengan hasil yang sudah sangat baik, jika dibandingkan dengan daerah lain yang bisa menghabiskan dana hingga ratusan miliar.
Untuk anggaran yang digunakan juga tidak membebani anggaran Negara. Bandara Banyuwangi ini tidak dibangun dengan menggunakan APBN seperti di daerah lain, melainkan dibangun dengan menggunakan APBD Banyuwangi, yang berarti Banyuwangi membangun bandara dengan kekuatannya sendiri.
Penggunaan APBD dalam proses pembangunan bandara ini karena pertimbangan untuk mempercepat proses pembangunanya. Meskipun dana yang digunakan dalam proses pembangunannya dapat dibilang kecil, namun Bandara Banyuwangi sangat representif dan ikonik.
Kondisi bangunan bandaranya juga terpelihara dengan baik, karena Pemerintah Banyuwangi menganggarkan biaya pemeliharaan Bandara Banyuwangi sebesar Rp 100 juta perbulannya.
Bandara ini mulanya bernama Bandar Udara Blimbingsari, namun berdasar Keputusan Menteri Perhubungan Republik IndonesiaNomor KP 830 Tahun 2017 diubah menjadi Bandar Udara Banyuwangi. Alasan perubahan ini adalah agar lebih melekat dengan daerah Banyuwangi.
Dengan memakai nama Banyuwangi promosinya akan lebih mudah juga tentunya. Bandara Banyuwangi ini memiliki keunikan tersendiri yang membedakan dengan bandara-bandara di daerah lain. Bandara Banyuwangi ini sangat unik dan anti mainstream, jika umumnya bandara dipenuhi dengan kaca, maka Bandara Banyuwangi dipenuhi dengan kayu.
Bandara Banyuwangi juga mengusung konsep rumah tropis dengan penghawaan alami, sehingga didalam bandara, kita nyaris tidak menggunakan AC. Bandara ini mengusung konsep green airport yang sangat ramah lingkungan, juga menjadi bandara pertama di Indonesia yang menerapkan prinsip eco-terminal yang efisien dalam pemeliharaannya.
Di setiap sudut bandara juga dikelilingi kolam ikan, hal ini juga untuk mendukung tekanan udara. Aliran air di kolam ikan yang mengepung berbagai ruangan akan membuat suhu ruang tetap sejuk. Pencahayaan bandara ini juga alami, berasal dari sinar matahari yang masuk melalui sekat interior ruangan. Sekat interiornya pun menggunakan kayu bekas.
Atap gedung Bandara Banyuwangi ini juga menerapkan roof garden yang ditanami rumput gajah mini. Pada bagian ventilasi atap juga menjuntai tanaman hias merambat Lee Kwan Yew. Pemilihan konsep bandara berarsitektur hijau ini dikarenakan efisiensi dalam pengelolaan dan pemeliharaanya. Juga material ramah lingkungan serta vegetasi untuk meminimalisir panas sehingga dapat membantu menyelamatkan bumi.
Bandara Banyuwangi dibangun dengan konsep bandara hijau dan mengadopsi kebudayaan lokal dengan mengusung kekhasan Suku Osing dalam arsitekturnya. Atap bandara mengadopsi arsitektur rumah adat Suku Osing yaitu suku asli di Banyuwangi.
Ciri khas juga terlihat dengan adanya Killing yaitu kincir angin khas Suku Osing di bagian depan Bandara. Bahkan keunikan Bandara Banyuwangi ini membuat Kementrian Perhubungan pada tahun 2016 lalu menetapkan Bandara Banyuwangi sebagai Indonesian Style Airport.
Selain sebagai bandara, ternyata Bandara Banyuwangi ini juga dimanfaatkan sebagai tempat belajar bagi sekolah pilot. Ada 3 sekolah pilot di Banyuwangi yaitu Loka Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan (LP3B), Mandiri Utama Flight Academy, dan Bali International Flight Academy (BIFA).
LP3B adalah satu-satunya sekolah pilot milik Kementrian Perhubungan, sedangkan yang lain adalah sekolah pilot milik swasta. Pada tahun 2016 dari ketiga sekolah tersebut telah menghasilkan 534 penerbang.
Bandara pada umumnya dilengkapi dengan layanan transportasi umum salah satunya bus bandara. Kini Bandara Banyuwangi juga telah memiliki angkutan umum yaitu Bus Damri yang melayani beberapa rute. Untuk saat ini baru ada rute menuju Pelabuhan Ketapang. Dalam sehari Bus Damri ini dijadwalkan 4 kali perjalanan sesuai dengan jadwal penerbangan.
Sejak 19 Desember 2019, Bandara Banyuwangi telah aktif sebagai bandara Internasional oleh karena itu Bandara Banyuwangi terus berusaha membenahi fasilitasnya, baik fasilitas udara maupun fasilitas darat. Salah satu perkembangan yang sangat menonjol yaitu dengan adanya penerbangan Internasional di Bandara Banyuwangi.
Penerbangan internasional pertamanya adalah Banyuwangi ke Kuala Lumpur. Peningkatan terbaru terus ditunjukkan oleh bandara ini. Smart digital airpot juga telah diterapkan di Bandara Banyuwangi, hal ini untuk memmpermudah mobilitas pengunjung bandara.
Dengan adanya digital airport ini, bagasi penumpang sudah tidak perlu dilakukan pemeriksaan manual, jadi penumpang bisa langsung check in, dan bagasinya diperiksa di make up area. Nantinya juga akan dikembangkan self check in sehingga dapat mengurai antrian yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H