Mohon tunggu...
Firdausia Hadi
Firdausia Hadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Edukasi Pesantren Ala Militer

15 Februari 2018   19:35 Diperbarui: 15 Februari 2018   19:46 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pepatah familiar yang sering terdengar di pesantren, "dibiarkan masuk neraka atau dipaksa masuk surga?", mungkin itu terdengar seperti pertanyaan biasa. Namun bila kita telaah kembali pertanyaan tersebut, penuh dengan makna. Dibiarkan tanpa aturan yang mengikat atau bebas melakukan apapun tanpa batasan, mencampur baurkan kebaikan dengan keburukan, atau dipaksa melakukan kebaikan yang kemudian menjadi kebiasaan, sehingga lupa akan keburukan.

Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, para santri dituntut mengikuti aturan yang berlaku dalam pesantren. Pukul tiga dini hari jaros(bel) sudah terdengar melengking mengoyongkan gendang telingga. Santri diwajibkan untuk melakukan khiyamul lail(sholat tahajud), yang pada dasarnya sholat ini sunnah. Tidak hanya itu saja, semua yang sunnah menjadi wajib seperti puasa senin-kamis, puasa putih (puasa dipertengahan setiap bulan), mengucap salam, berjabat tanggan dan semua sunnah yang diperintahkan Rasul menjadi wajib. Bukan hanya itu saja, disetiap kegiatan apapun, santri dituntup untuk selalu disiplin, kuat, dan tekun. Jangan coba bermalas-malasan, karena setiap gerak-gerik santri dalam pengawasan yang super duper dasyat. Setiap pelangaran sekecil apapun, akan dapat hukuman.

Pendidikan mental di pesantren persis seperti pendidikan militer. Bagaimana tidak, setiap gerak-gerik selalu diawasi, setiap kegiataan selalu pakai hitungan, setiap pelangaran mendapat hukuman. Tiap santri yang telah melanggar dihukum berbagai macam hukuman, salah satunya adalah men-jasus(memata-matai setiap pelangaran temanya), misalkan telat masuk sekolah, telat masuk masjid, atau tidak menggunakan bahasa resmi (bahasa arab/inggris). Dalam rangka mendisiplinkan santri agar selalu menghargai waktu sebagaimana pepatah yang menggungkapkan; "al-waktu asmanu minna dhahabi"yang dapat diartikan; waktu itu cepat berlalu. Yang bila kita maknai secara bebas, gunakan waktu sebaik-baiknya karena waktu itu terasa cepat berlalu. Seorang mudhabir/mudhabirah(sebutan untuk santri yang menjadi pengurus, dan biasa kakak kelas paling atas atau telah lama nyantri) akan menghitung agar santri lekas beranjak mengerjakan sesuatu atau lekas menyelesaikan sesuatu. Konsekuensi dari setiap pelanggaran pasti adalah mendapatkan hukuman. Tiap hukuman yang diberikan sesuai pelanggaran, hukumnya pun beragam. Mulai dari hukuman men-jasus,menulis istigfar ratusan hingga ribuan kali, hafalan al-quran, hadist, mahfudhat, bersih-besih, menulis artikel, pidato dan hukuman lainnya yang tetap pada koridor pendidik. Bukan hukuman-hukuman buling, senioritas, atau egoism semata.

Perlakuan yang dilakukan berulang kali dalam waktu yang lama, maka akan membentuk kebiasaan yang melekat pada diri seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Bourdieu (1979) habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah (durable, transposable) yang berfungsi sebagai basis generative bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Semua kegiatan di pesantren dirancang secara terstruktur dan terpadu, tidak lain untuk menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, berani, kuat, sabar, jujur, dan tanggung jawab pada diri santri. Meskipun pada awalnya terkesan dipaksakan, namun metode ala militer ini sangat ampuh mendidik santri menjadi figur yang dapat diandalkan. Sehingga banyak pesantren yang melahirkan orang-orang besar seperti KH Muhammad Dahlan, KH Hasyim Asyari, bahkan perempuan penegak emansipasi wanita Kartini, juga pernah mengeyam pendidikan di pesantren.

Kabiasaan yang telah melekat dalam diri seseorang akan sulit ditinggalkan. Ia akan merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, tatkala meninggalkannya. Kebiasaan disiplin, jujur, berani, kuat, dan bertanggung jawab yang telah ditanamkan dalam pesantren, akan terus terbawa di luar pesantren. Alangkah dasyatnya, bila mana seseorang mempraktikkan nilai-nilai moral yang ada di pesantren dalam kehidupan sosial masyarakat. Sudah dapat dipastikan bahwa kantor KPK sepi akan koruptor, penjara akan sepi dari penjahat, dan prostitusi, kolusi, nepotisme akan lenyap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun