"Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak." (HR. Al-Baihaqi).
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia dituntut mutlak untuk bermoral dalam menjalani hidup ini. Baik oleh masyarakat di sekitarnya, oleh Tuhan yang diyakininya, ataupun oleh dirinya sendiri. Dan jika ditilik lagi bahwa moralitas tengah mengalami dekadensi (penurunan), perihal moralitas kiranya sudah menjadi urgensi masa kini.
Namun, pertanyaannya adalah " Bagaimana kita bisa hidup bermoral ? ". Maka disini penulis, setidaknya, ingin menguraikan sedikit cara atau upaya menuju hidup bermoral. Cara ini barangkali bisa disebut dengan trilogi upaya menuju hidup bermoral yakni : Kesadaran untuk bermoral, pengetahuan akan moralitas dan perilaku yang bermoral.
Nurani
Yang pertama adalah kesadaran untuk bermoral yang terletak dalam nurani. Ini menjadi yang pertama kali mendorong kita untuk bermoral yakni hati nurani. Menurut hemat saya, dengan menggunakan kaidah bahasa arab (baca: sharaf) nurani berarti dua cahaya; baik dan benar. Jadi, nurani selalu menjadi yang pertama mendorong dan/atau menuntut manusia untuk berlaku baik dan benar.
Namun, kesadaran ini juga harus dirasakan oleh kita dengan keterbukaan dan kejernihan perasaan agar ia dapat muncul sebagai sumber moralitas sehingga tidak ditutupi oleh apapun. Kita harus sadar akan keberadaan suara hati nurani karena tanpa menimbulkan kesadaran tersebut maka kita takkan tertuntun olehnya.
Nalar
Nah, karena nurani hanya menuntut kita untuk bermoral tanpa memberikan jawaban atas apa yang disebut moral atau perilaku mana yang disebut baik dan benar, maka yang kedua adalah pengetahuan akan moral tersebut, yang terletak pada akal; nalar. Dalam mempertimbangkan mana yang baik dan tidak, mana yang benar dan tidak, nalar kita memegang peranannya. Namun, nalar juga tidak semena-mena pasti benar, ia justru yang paling banyak mengalami kekeliruan.
Maka, guna mencegah nalar kita agar tidak keliru atau paling tidak lebih dekat pada kebenaran, kita harus banyak belajar; memburu pengetahuan dengan terus menerus. Entah itu dari sesama manusia; belajar dari guru, diskusi, atau dari obrolan ringan bersama teman. Ataupun dengan menggunakan media non-manusia;kitab suci, buku, artikel, blog, koran atau media yang lainnya.Â
Namun, balik lagi bahwa kemampuan nalar manusia dapat keliru, maka dalam proses mencari pengeteahuan akan moralitas tersebut perlu dijalani dengan kritis. Tidak diterima mentah-mentah karena, nantinya hanya akan melahirkan dogmatisme semata.