Mohon tunggu...
Anexarmenos
Anexarmenos Mohon Tunggu... Mahasiswa - Panjang Umur Hal-hal Baik

Seorang manusia yang dibuat oleh tangan Tuhan--dengan Maha Pengasih-Nya. Melalui rahim yang suci (ibu) dan dirawat oleh tangan yang kuat (bapak) serta diproses dengan cara paling purna; Cinta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banyaknya Silih, Membuat "Lega" Si Kerah Putih

1 Juni 2021   00:55 Diperbarui: 2 Juli 2021   21:14 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Terdakwa berjasa membangun 2 masjid dan rutin memberikan santunan kepada yatim piatu dan kaum duafa di Jabodetabek," kata ketua majelis hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 21 April 2021 (dalam kasus Suharjito).

Maraknya koruptor dari masa ke masa di negeri ini ternyata tak kunjung terbendung. Meskipun kerap kali para koruptor itu tertangkap dan diadili, namun, nyatanya hal itu tak bisa membuat para pelaku lain untuk jera. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Ternyata selain dari lemahnya kekuatan hukum di Indonesia, banyaknya silih yang dipakai untuk melegitimasi perbuatan mereka juga membuat si kerah putih ini masih melakukannya lagi dan lagi.

Beberapa alasan atapun silih para koruptor sehingga mereka merasa tidak bersalah dan tidak jera, setidaknya ada 3 hal. Hal ini juga senada dengan Haryatmoko selaku pakar etika yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Etika Politik dan Kekuasaan”.

Fenomena impunitas di meja sidang

Fenomena impunitas atau tiadanya sanksi hukum ketika dalam persidangan menjadi hal yang paling menarik bagi para koruptor untuk tetap melakukan aksinya. Lemahnya pengawasan dan piawainya pembela ketika berlangsungnya sebuah sidang adalah indikator utama terdakwa mendapatkan impunitas.

Adanya hakim yang korup juga kadang kali menjadi penyebabnya. Jika bukan hakim yang memiliki integritas dan kredibilitas yang tinggi, bisa saja mereka dapat disuap dengan mudah. Apalagi oleh koruptor yang tak usah ditanya tentang ketebalan dompetnya. Sehingga pelaku bisa keluar dari masalahnya dengan mudah tanpa diproses secara hukum.

Kepiawan pembela juga menjadi indikator terhadap impunitas ini. Jika pembela dapat membuat alibi yang terstruktur dan terorganisir sehingga dapat mengelabui si hakim. Melemahkan bukti-bukti hukum yang ada. Mementahkan saksi yang memberatkan dan menambahkan saksi-saksi yang meringankan.

Impersonalisasi korban

Korban yang terlibat dalam kasus korupsi sudah sangat kita ketahui dengan jelas berjumlah begitu banyak yaitu rakyat Indonesia. Namun, ternyata lebih banyak korban yang terlibat, malah membuat para pelakunya merasa tak bersalah. Hal ini dikarenakan ketika manusia dalam jumlah yang banyak sering diartikan sebagai hanya angka belaka.

Seperti layaknya jumlah followers dalam media sosial, rakyat juga diartikan sebagai angka. Terjadi impersonalisasi secara besar-besaran. Tak hanya dalam kasus jumlah pengikut dalam media sosial, harkat seorang manusia sebagai angka belaka juga terjadi dalam pengikut di dunia nyata. Seperti pejabat terhadap rakyat.

Memang, impersonalisasi manusia sebagai silih tidak hanya terjadi dalam kasus korupsi tetapi dalam tindak kejahatan yang lain. Seperti penjarahan massal, pengkhianatan atas janji para pejabat hingga perang dunia. Manusia seolah-olah tidak lebih pentingnya daripada segumulan semut.

Selain impersonalisai manusia yang dikarenakan jumlahnya yang banyak, wajah mereka yang tidak kelihatan juga menjadi silih atas perbuatan korupsi ini. Mereka para koruptor tidak akan pernah tahu wajah rakyat yang mereka jarah hak serta hartanya. Wajah yang kusam akibat kemelaratan yang mereka rasakan. Padahal bukan hanya semata-mata karena diri mereka sendiri tetapi karena pejabat yang mengurusinya malah asik korupsi dan mentelantarkan hak mereka.

Mekanisme silih dengan kebaikan atas kejahatan yang dilakukan

Perasaan tidak bersalah yang mengakibatkan pelaku korupsi masih melakukannya, juga diakibatkan karena adanya mekanisme silih dengan mengalokasikan sebagian hasil korupsinya kepada pihak lain. Namun, yang harus digaris bawahi disini ialah hanya “sebagian”.

Seperti dibagikan kepada partai politiknya. Mengalokasikan hartanya guna kepentingan internal partainya. Entah itu dalam rangka kampanye ataupun acara pembagian sembako kepada rakyat dari parpol itu sendiri. Namun, nyatanya anggaran untuk sembako tidak membutuhkan uang yang banyak, hanya dalam pendataan anggaran tersebut sengaja dibesarkan.

Perasaan ini akan semakin ringan apabila digunakan untuk kepentingan umum. Seperti dipakai untuk menciptakan lowongan pekerjaan ataupun menggaji pekerja yang bekerja di perusahaan miliknya.

Adapun yang membuat si pelaku tidak memiliki rasa bersalah adalah dengan mengalokasikan hartanya di jalan yang “suci”. Seperti disalurkan kepada panti asuhan, panti jompo, membangun tempat ibadah ataupun mengumrohkan orang yang beragama islam. Alasan ini menjadi alasan paling pamungkas bagi si pelaku agar dirinya sendiri tak merasa bersalah.

Bahkan ternyata mekanisme silih ini tidak hanya meringankan perasaan bersalah pada dirinya, namun juga meringankan di hadapan hakim.

Seperti dalam waktu dekat ini dalam kasus Suharjito yang terlibat kasus korupsi. Perbuatannya yang selalu mengumrohkan karyawannya. Seperti dikutip dari tempo.co (22/04/2021) Hal lain yang meringankan, kata hakim Usada,terdakwa setiap tahun peduli memberikan kesempatan 10 karyawan/karyawati beragama Islam untuk melakukan ibadah umrah. Sementara itu, bagi karyawan nonmuslim, berziarah ke tanah suci sesuai keyakinan dan agama yang dianut.

Selain mekanisme silih tersebut dalam kasus itu juga ditemukan kepiawaian pembela dalam sidangnya sehingga hal yang meringankan bagi pelaku lebih banyak ketimbang yang memberatkannya.

Mungkin dari kasus tersebut juga kita bisa melihat bagaimana hukum di negeri ini berjalan. Sehingga wajar saja jika para pelaku melakukannya lagi dan lagi.

Sumber Rujukan :

—Haryatmoko. ETIKA POLITIK & KEBEBASAN. Diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun