Baru saja kita menyaksikan pesta demokrasi di Amerika Serikat. Donald Trump pengusaha besar yang kontroversial memenangi pesta tersebut dan menjadi presiden ke-45 negeri adidaya itu. Banyak pelajaran yang kita ambil dari pesta demokrasi yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di muka bumi ini.
Pelajaran pertama, selama masa kampanye, perbedaan tajam terjadi dengan sangat hebatnya antara dua kubu, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Dalam beberapa dekade terakhir, persaingan dua partai itu tampak semakin keras dan ketat, serta menjurus kasar, khususnya di kalangan para pendukungnya. Hal yang baru terjadi di Indonesia pada pilpres 2014 lalu, ketika terjadi dua kubu berseberangan pada kelompok pendukung Jokowi dan Prabowo, meski berasal dari partai yang berbeda. Kondisi dua kubu ini ternyata amat riskan menimbulkan perpecahan. Lihatlah pasca kemenangan Trump ini. Mereka yang tidak puas dengan hasil pemilu, langsung berdemonstrasi. Mereka menolak Trump sebagai presiden. Hal yang tidak terjadi di Indonesia.
Pelajaran kedua, ternyata sistem pemilu di Amerika, tidak lebih demokratis dibanding di Indonesia. Di sini, satu pemilih menentukan satu suara untuk calon presiden. Tidak dengan di Amerika Serikat. Jumlah pemilih boleh saja lebih banyak untuk Hillary Cinton, namun sistem yang diterapkan tidak secara otomatis memenangkan wanita tersebut. Justru Trump yang meraih jumlah suara pemilih lebih sedikit, yang menang. Amerika menerapkan sistem perwakilan di setiap negara bagian. Meski di New York jumlah pemilih lebih banyak, misalnya, tetap akan kalah kalau di wilayah lain, yang jumlah penduduknya tidak sebanyak New York, menampakkan hasil yang berbeda.
Rakyat Indonesia wajib bangga dengan keberhasilan kita menyelenggarakan beberapa kali pemilu secara langsung, yang lebih demokratis, lebih hakiki demokrasinya dibanding Amerika. Orang Amerika harus belajar ke sini. Indonesia, yang berpenduduk mayoritas Muslim, yang selama ini sering dianggap sebagai orang yang tidak demokratis.
Pelajaran ketiga, orang Amerika ternyata tidak bisa move on juga, hehe… malah lebih parah. Mereka tidak bisa menerima kekalahan. Ribuan orang turun ke jalan menolak hasil pemilu. Hal yang tidak terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia selalu menerima hasil pemilu, meski ditengarai ada kecurangan. Tidak pernah ada penolakan dengan cara demo yang melibatkan ribuan orang di berbagai kota. Penolakan hanya ditunjukkan lewat media sosial. Atau ditunjukkan oleh para elitnya. Hmm, rakyat Indonesia jauh lebih dewasa (dalam hal ini) dibanding orang Amerika dan para elit di sini. Berbanggalah.
Pelajaran keempat, Amerika telah gagal melakukan regenerasi kepemimpinan. Masa yang berkompetisi pilpres adalah para manula (Trump 70 tahun, Hilary 69 tahun)? Nggak ada anak mudanya? Tak ada yang seusia Jokowi? Seusia Ahok? Seusia Anies Baswedan? Apalagi yang seusia Agus Yudhoyono? Trump yang terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat adalah yang tertua dalam sejarah mereka, yaitu 70 tahun. Kalau di Indonesia, hanya wapres yang ‘boleh’ seusia tersebut hehe…
Maka, Anda hai orang Indonesia yang mayoritas beragama Muslim, wajib berbangga dan berbahagia karena pencapaian kita dalam sejumlah hal demokrasi, sudah melewati pencapaian Amerika (negara yang mengaku sebagai embahnya demokrasi), seperti yang saya ungkapkan dalam tulisan ini.
Mari kita rawat kedewasaan kita dalam berdemokrasi.
Mari kita tingkatkan menjadi lebih baik.
Tunjukkan bahwa kita yang mayoritas Muslim, mampu dan lebih baik dalam berdemokrasi.
Kita bukan Muslim yang suka ribut seperti di Timur Tengah.
Kita bukan Muslim yang emosional melainkan rasional.
Kita adalah Muslim yang sangat beradab, terhormat dan selalu belajar serta mengambil pelajaran, mau lebih baik, sukses dan bermartabat.Â
Yakin bisa, karena buktinya sudah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H