Â
Beberapa pagi ini saya kembali membeli kepada simbok2 langganan saya dulu seorang penjual sarapan nasi bungkus beserta lauk pauk ala kadarnya lengkap dengan bakul besar yang digendong dengan seutas jarik dengan motif batik khas jawa.
Selesai membeli Nasi bungkus plus gorengan telo/singkong kesukaan saya tak lupa beliau menyisipkan satu pisang goreng untuk "mas nya" baca "saya".
Terkadang pula bila saya kekurangan uang atau lupa bawa dompet boleh di bayar besok "mboten usah nak, mbenjeng mawon - tak usah wahai Ananda besok aja bayarnya" terkadang saya malu dikala beliau hanya menjualkan barang titipan orang tapi beliau mau nomboki pemuda gagah yang rada eror ini.
Saya sulit membayangkan bila itu berlaku di pasar kapitalis, bonus dengan syarat, tanpa senyuman. Hubungan transaksionis yang berisi "untung rugi" dengan topeng "Jual dan beli" apalagi beli tanpa uang siap2 anda di depak wong sebelum anda masuk andapun sudah harus menyiapkan uang untuk beberapa jam kedepan.
Akan terasa berbeda sebuah hubungan yang di awali niat untuk saling membantu (membantu memberi makan anak kost yang kadang kelaparan juga membantu pedagang kecil dari gusuran pemilik modal raksasa, jangan tanya omset karena mereka tahunya hanya bisa makan untuk esok) juga komunikasi humanis antar manusia bagaimana kabarnya mbok? Kok lama gak kliatan mas? Bukan sekedar salam sapa nada robotik "Selamat Datang Kaka" | Iyaa Dek, Eh... 😉
Jogja, 16-05-17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H