Kabar pelarungan jenazah awak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) dari kapal pencari ikan China bergema. Namun ini bukan soal pelarungan saja. Lebih dari itu, ada jejak eksploitasi manusia di baliknya. Kita bisa membahas itu mulai dari persoalan tentang kondisi pekerja migran pada sektor perikanan.Â
Migrasi pekerja merupakan bagian dari proses migrasi internasional. Migrasi internasional pekerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pekerja jangka pendek (short-terms Labour shortages) di negara tujuan migrasi.
Penyebab utama terjadinya migrasi pekerja ini adalah perbedaan tingkat upah yang terjadi secara global. Perpindahan pekerja dari negara pengirim (sending country) ke negara penerima pekerja migran (receiving country) akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan pekerja murah.
Alasan terbesar yang mendorong terjadinya migrasi adalah kondisi ekonomi dan non-ekonomi. Keputusan seorang pekerja untuk ber-migrasi atas dasar alasan-alasan ekonomi dapat dianalisis melalui pola dan perangkat yang sama ketika kita mempelajari motif-motif investasi internasional.
Secara spesifik, migrasi itu sama halnya dengan berbagai bentuk investasi, melibatkan perhitungan biaya dan keuntungan. Adapun biaya yang tercakup dalam proses migrasi itu antara lain adalah biaya transportasi dan biaya tambahan (opportunity cost) berupa hilangnya pendapatan karena seseorang harus meluangkan waktu yang cukup banyak untuk menyelenggarakan proses perpindahan dan mencari pekerjaan baru di tempatnya yang baru
Pada tahun 2009, sekitar 200 juta orang-yang merupakan 3% dari jumlah total populasi dunia, tinggal dan/atau bekerja di luar negara asalnya. Statistik yang terus meningkat membuat kekhawatiran tersendiri mengenai hak-hak bagi pekerja migran yang menjadi persoalan utama dalam masalah migrasi internasional. \
Lebih dari 58 juta orang terlibat dalam sektor utama perikanan tangkap dan akuakultur. Dari jumlah tersebut, sekitar 37% diantaranya merupakan pekerja kontrak, dan sisanya merupakan nelayan sementara atau status pekerjanya tidak bisa  ditentukan. Pada kapal penangkap ikan sendiri setidaknya ada lebih dari 15 juta pekerja yang secara penuh bekerja di sana.
International Labour Organization / ILO (Organisasi Perburuhan Internasional naungan Perserikatan Bangsa Bangsa / United Nations) menyebutkan bahwa penangkapan ikan merupakan salah satu pekerjaan yang berbahaya dan menantang sehingga perlu kepastian pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi semua pekerja / nelayan.
Secara khusus, standar perburuhan internasional ILO yang berkaitan dengan pekerjaan di atas kapal adalah Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188). Konvensi ini menunjukkan komitmen baru dari ILO untuk memastikan pekerjaan yang layak dalam sektor perikanan.
Hal ini bertujuan untuk memastikan kondisi kerja yang layak sehubungan dengan persyaratan minimum untuk bekerja di kapal; kondisi layanan; akomodasi dan makanan; keselamatan dan perlindungan kesehatan kerja; perawatan medis dan jaminan sosial.
Menjadi sebuah tanggungjawab dan tantangan yang besar bagi ILO untuk meratifikasi dan mengimplementasikan konvensi ini secara luas ke negara negara di seluruh dunia. Konvensi No. 188 ini merupakan suatu upaya yang berharga untuk mengatasi persoalan yang menyangkut tentang pekerja migran penangkap ikan dan memastikan penghapusan pekerja paksa dan pekerja anak di sektor perikanan.
Pelanggaran HAM : Kerja Paksa Dan Perdagangan Manusia
Dalam suatu laporan ILO menyebutkan bahwa kerja paksa dan perdagangan manusia di sektor perikanan merupakan masalah yang serius dan perlu ditindaklanjuti sesegera mungkin. Laporan ini menunjukkan bahwa banyak diantara para nelayan adalah pekerja migran yang rentan terhadap bentuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia di kapal penangkap ikan.
Di Indonesia, mereka yang bekerja di atas kapal sangat rentan untuk mengalami penipuan hingga dipaksa oleh calo atau pihak penyalur tenaga kerja yang disebabkan oleh bayang bayang ancaman fisik dan relasi hutang. Sederet korban tergambar melalui segala macam jenis penyakit, cedera fisik, pelecehan psikologis dan seksual, bahkan kematian yang mereka alami ketika berada jauh dari daratan selama berbulan- bulan atau bertahun-tahun.
Para awak buah kapal (ABK) tersebut dipaksa bekerja berjam-jam di luar kewajaran dengan upah yang rendah dengan risiko bahaya yang tinggi. Ini menyebabkan sektor perikanan khususnya penangkapan ikan menjadi salah satu pekerjaan dengan tingkat kematian tertinggi di dunia. Kurangnya pelatihan, ketrampilan berbahasa yang tidak memadai, hingga kurangnya penegakan K3 membuat para nelayan ini sangat rentan untuk mengalami kerja paksa dan perdagangan manusia.
Praktik perbudakan di tengah laut / di atas kapal masih saja terjadi, mengingat kondisi pekerjaan yang rentan terhadap eksploitasi pekerja, yang diperparah dengan tidak berjalannya pengawasan secara mandiri karena pekerja tidak memiliki bantuan hukum / pendampingan secara langsung.
Praktik perbudakaan yang dimaksud yaitu human trafficking, dimana pada proses perekrutan melalui proses pembelian calon ABK dan bukan melalui cara yang sesuai dengan prosedur. Ini berdampak pada anggapan bahwa calon ABK yang melalui perekrutan dengan cara pembelian tersebutlah yang memiliki kerentanan terhadap kondisi kerja yang tidak aman atau melebihi batas batas tertentu.
Pekerja yang mengalami perbudakan akan sangat sulit untuk keluar atau meminta pendampingan penyintas mengingat  mereka tidak memiliki dokumen resmi saat kontrak kerja dengan perusahaan atau penyalur tenaga kerja.
Banyak sekali oknum oknum yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan posisi rentan dalam kemampuan ekonomi para ABK untuk dapat memeras tenaga mereka, mengingat hanya itu satu-satunya bentuk pengupahan yang bisa ia terima.
Persoalan lain yaitu pada proses perekrutan para  awak buah kapal (ABK) yang tidak melalui proses yang benar dan tidak menggunakan dokumen resmi yang tentu akan berimplikasi terhadap ketidakpastian perlindungan terhadap ABK mengingat data ABK tidak terdaftar ke dalam sistem pendataan.
Justru dalam suatu kasus sering ditemukan, apabila terjadi kecelakaan maka santunan cenderung akan diberikan kepada pihak penyalur tenaga kerja sebagai pihak perekrut ABK.
Adanya indikasi yang kuat kejadian kerja paksa berkaitan dengan kejahatan perikanan yang terorganisir oleh kelompok kelompok yang mencoba memanfaatkan relasi kuasa mereka dengan kerentanan para pekerja nelayan.
Istilah fisheries crimes atau kejahatan perikanan muncul sebagai bentuk pelanggaran yang dilakukan dalam sektor perikanan seperti : pencurian ikan, penipuan dokumen, korupsi, penggelapan pajak, hingga perdagangan manusia.
Kejahatan perikanan tentunya akan mengancam kondisi dan iklim kerja yang berdampak pada ekosistem kelautan termasuk stok ikan di laut. Kondisi demikian akan sangat mempengaruhi kehidupan manusia dalam keamanan pangan dan perikanan yang berkelanjutan di seluruh dunia.
Awal Mula Kejadian (versi Kementrian Luar Negeri RI)
Sejak tanggal 14 April 2020, Kedutaan Besar Republik Indonesia Seoul telah menerima informasi mengenai adanya kapal Long Xin 605 dan kapal Tian Yu 8 yang masing masing berbendera Tiongkok akan berlabuh di Busan, Korea Selatan membawa Awak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia dan informasi mengenai adanya pekerja migran ABK Warga Negara Indonesia (WNI) yang meninggal dunia di kapal tersebut.
Dari penelurusan KBRI Seoul yang bekerjasama dengan pihak terkait, pada tanggal 23 April 2020 diperoleh informasi rinci mengenai hal hal sebagai berikut :
- Kapal Long Xin 605 dan kapal Tian Yu 8 yang membawa 46 ABK WNI sempat berlabuh di Busan, Korea Selatan dan saat ini telah berlayar ke Tiongkok.
- Kedua kapal tersebut sempat tertahan karena terdapat 35 ABK WNI yang tidak terdaftar di 2 kapal tersebut. Dalam laporan lain, secara rinci menyebutkan ada 15 WNI terdaftar di kapal Long Xin 629 dan 20 WNI terdaftar di kapal Long Xin 606.
Meskipun sama sama berbendera Tiongkok, hal ini justru menimbulkan pertanyaan bagaimana bisa ada sekitar 35 ABK WNI yang terdaftar di kapal Long Xin 629 dan kapal Long Xin 606 namun pada kenyataannya dibawa dan dipekerjakan oleh kapal Long Xin 605 dan kapal Tian Yu 8. Ini menimbulkan kecacatan administrasi yang berujung pada 35 ABK WNI tersebut dianggap sebagai penumpang dan bukan sebagai pekerja migran ABK WNI oleh otoritas pelabuhan Busan.
Informasi lain menyebutkan bahwa 8 orang ABK yang terdaftar di kapal Long Xin 605 dan 3 ABK yang terdaftar di kapal Tian Yu saat ini telah dipulangkan ke Indonesia pada tanggal 24 April 2020. 15 ABK yang terdaftar di kapal Lion Xin 629 dapat diturunkan dari kapal atas dasar kemanusiaan namun harus menjalani karantina selama 14 hari di salah satu hotel di Busan mengingat adanya pandemi COVID-19 ini.
Selain itu, 20 ABK lain yang terdaftar di kapal Long Xin 605, 18 diantaranya telah kembali ke Indonesia pada tanggal 3 Mei 2020 dan 2 lainnya masih dalam proses imigrasi Korea Selatan untuk segera dipulangkan ke Indonesia.
Dugaan Pelanggaran Terhadap Kejadian
Dalam peraturan ILO Seafarer's Service Regulations misalnya, pelarungan jenazah di laut diatur praktiknya dalam Pasal 30. Disebutkan, jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, maka kapten kapal harus segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban.
Aturan itu memperbolehkan kapten kapal memutuskan melarung jenazah dalam kondisi, antara lain jenazah meninggal karena penyakit menular atau kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan jenazah, sehingga dapat berdampak pada kesehatan di atas kapal.
Namun, pelanggaran yang terjadi disini bukanlah berfokus terhadap pelarungan melainkan hak hak pekerja dan kepatuhan kapten kapal terkait keselamatan dan kesehatan ABK.
Konvensi ILO No. 188 salah satunya mengatur mengenai hak beristirahat para ABK. Di mana aturan tersebut mengatur kapal penangkap ikan, tanpa memandang ukuran kapal, yang tetap di laut selama lebih dari tiga hari, setelah berkonsultasi dan untuk membatasi keletihan, menetapkan masa istirahat yang tidak boleh kurang dari 10 jam dalam sehari. Sementara pemilik kapal juga ikut serta menyediakan makanan dan minuman dengan kualitas memadai bagi para ABK.
Pengacara berbicara dengan tiga ABK melalui telepon dan mereka menuturkan kondisi kerja yang keras di kapal-kapal China yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Samoa. Mereka mengaku harus bekerja selama 18 jam per hari, beberapa di antaranya harus bekerja selama dua hari berturut-turut. Mereka pun berada di laut dalam jangka waktu lama, 13 bulan, tanpa sempat berlabuh selama menjalani pekerjaannya. Mereka juga mengaku tidak diberi air tawar untuk minum dan harus meminum air laut.
Margono-Surya & Partners melaporkan perusahaan penyalur tenaga kerja bernisial PT. Lakemba Perkasa Bahari yang diduga mengirim EP(nama korban) ke kapal Long-Xing 629 berbendera Tiongkok hingga meninggal dunia. Pelapor menilai perjanjian laut antara EB dengan PT. Lakemba Perkasa Bahari bermasalah.
Pada akhirnya, Direktorat Tindak Pidana Umum Kriminal Polri menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus pelarungan ABK WNI Â Kapal Long Xing 629. Penetapan ketiga tersangka yaitu William Gozaly dari PT Alfira Pratama Jaya, Kiagus Muhammad Firdaus dari PT Lakemba Perkasa Bahari, dan Joni Kasiyanto dari PT Sinar Muara Gemilang atas dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Polri melakukan pemeriksaan terhadap 14 ABK WNI yang menjadi penyintas dalam kasus TPPO dan tergambar bagaimana para ABK WNI dijanjikan upah kerja sebesar 4.200 USD selama 14 bulan.
Kendati demikian, dari keterangan para ABK WNI ini dapat diketahui bukti bukti yakni proses, cara, dan tujuan terjadinya TPPO sehingga Polri mempersangkakan para tersangka dengan Pasal 4 Undang Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangagn Orang.
Mereka diduga melakukan penipuan gaji dengan hanya memberikan gaji sebesar 1.350 USD kepada beberapa ABK Â dan bahkan beberapa ABK lainnya tidak menerima gaji sama sekali. Selain itu, mereka juga ditempatkan pada jam kerja yang tidak sesuai seperti bekerja selama 30 jam dan beberapa mengalami kekerasan fisik.
Kesimpulannya, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa persoalan pelarungan jenazah ke laut itu merupakan keputusan final apabila di dalam kapal tidak memiliki freezer sebagai pendingin sementara untuk selanjutnya akan dimakamkan secara layak di daratan. Di Indonesia, saat Menteri Susi Pudjiastuti menjabat sempat mengeluarkan peraturan menteri KKP mengenai HAM pada sektor perikanan. Namun, kesulitan lain ketika peraturan tersebut hanya berlaku pada wilayah yuridiksi Indonesia dan tidak berlaku di luar wilayah Indonesia. Untuk itu, ada beberapa hal yang menurut penulis dapat dijadikan saran untuk pembenahan agar kasus kasus mengenai pelanggaran HAM setidaknya memiliki secercah harapan, diantaranya :
- Mendorong pemerintah global untuk menegakkan peraturan di sektor perikanan kapal yang terdaftar sesuai dengan bendera kapal mereka.
- Mengoordinasikan kontrol autoritas pelabulan negara atas kapal penangkap ikan
- Mengendalikan agen perekrutan swasta untuk menghindari perekrutan yang tidak layak serta penempatan kerja yang tidak manusiawi.
- Mengatur kerjasama koordinasi penegakan hukum multi lembaga negara dan internasional, saling berbagi mengenai informasi untuk respons cepat pada peradilan yang komprehensif.
- Memberikan akses informasi dan layanan pendampingan sosial lainnya kepada nelayan.
- Penguatan terhadap asosiasi pekerja kapal dan perikanan yang membantu perlindungan dan pengawasan terhadap ABK yang sedang berlayar, namun catatan penting untuk tidak menyertakan konflik kepentingan seperti bisnis dalam asosiasi ini dan terus melakukan koordinasi dan kolaborasi terhadap pihak terkait termasuk pemerintah untuk mengoptimalkan tugas dan peran serta mengurangi ego sektoral.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H