Mengawali awal tahun barunya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencoba melakukan re-orientasi terhadap sistem pendidikan tinggi melalui program Merdeka Belajar : Kampus Merdeka. Program ini disampaikan oleh Mas Nadiem, yang kemudian diyakini oleh berbagai pengamat ahli pendidikan termasuk rektor perguruan tinggi sebagai salah satu langkah pendidikan menjadi salah satu penyedia calon pekerja yang unggul dan siap kerja.Â
Dimana, harapannya ada kesesuaian link and match antara dunia pendidikan dan pekerjaan sekaligus menjawab tantangan keadaan angkatan kerja yang terus bertambah di tiap tahunnya. Termasuk kehadiran penyelenggaraan pendidikan vokasi yang lebih diorientasikan terhadap kebutuhan industri.Â
Dari sekian paket kebijakan yang ditawarkan, ada satu hal yang menarik bagi penulis untuk lebih concern menanggapi perihal hak magang selama 3 semester di luar kampus.
Dalam sejarahnya, program pemagangan mulai diperkenalkan oleh Organisasi Buruh Internasional / International Labour Organization (ILO) yang ditujukkan kepada para calon pekerja yang berasal dari lulusan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja sebelum mereka mendapatkan pekerjaan yang sesungguhnya.Â
Artinya, ada proses pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan pemagang agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan lingkungan kerja.Â
Namun, semenjak adanya krisis ekonomi global yang meruntuhkan ekonomi pasar dunia dengan melahirkan persoalan baru yang berimbas langsung pada sektor buruh dengan cara penghilangan sebagian atau pemotongan gaji dengan dalih mengurangi cost production.Â
Hal ini membuat banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya secara murah, bahkan tak dibayar, dengan dalih magang. Bahkan, terdapat istilah "peserta magang profesional", yaitu pekerja yang tidak juga mendapatkan kerja dan terjebak dalam siklus magang berkepanjangan.
Di Indonesia, kegiatan semacam ini memiliki beragam bentuk yang diperuntukkan sesuai dengan fungsinya masing masing yakni : magang untuk pelatihan kerja, magang untuk tujuan akademis, magang untuk pemenuhan suatu kurikulum atau persyaratan dalam pembelajaran profesi tertentu.Â
Hal ini diperjelas dalam UU No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pemagangan merupakan bagian dari sub-sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman dalam proses produksi di perusahaan, dalam hal ini diperuntukkan untuk menguasai keterampilan dan keahlian tertentu.
 Sedangkan pelatihan kerja sendiri merupakan seluruh kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
Singkatnya, pemagangan menurut UU 13 Ketenagakerjaan merupakan pelatihan kerja yang ditujukan untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan kerja bukan untuk agenda akademis atau persyaratan profesi tertentu.Â
Namun, ada juga magang yang memang diperuntukkan sebagai persyaratan profesi dalam rangka pemenuhan kurikulum seperti : ketentuan pendidikan dan pelatihan praktik kedokteran (koas), persyaratan profesi advokat, dan persyaratan magang bagi calon notaris.Â
Perusahaan dalam hal ini dikategorikan sebagai penyedia keterampilan, memang sudah lama mulai menerapkan program - program magang yang diperuntukkan bagi para mahasiswa dalam rangka bentuk kontribusi industri terhadap dunia pendidikan. Namun, tak semua perusahaan merasakan peningkatan produktivitas yang berdampak pada kurangnya apresiasi perusahaan terhadap para pemagang.Â
Perkara ketidaksesuaian keterampilan menjadi hal yang seringkali dipersoalkan-hal yang seharusnya dapat dimaklumi oleh perusahaan. Selain itu, durasi yang hanya memakan waktu sekitar 1-3 bulan akan menyulitkan sistem kerja perusahaan sekaligus penambahan beban administrasi sebagai bentuk penilaian kinerja mahasiswa selama masa magang.
Alih alih ingin memberikan solusi terhadap perkara yang dibebankan terhadap perusahaan, kiranya Kemendikbud melewatkan perkara jaminan sosial dan hak hak perlindungan lainnya.Â
Mengingat, potensi bahaya yang bisa jadi diterima oleh pemagang sama dengan pekerja tetap sehingga berisiko dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi.Â
Dengan kondisi dan lingkungan kerja yang sama, maka potensi terjadinya penyakit maupun kecelakaan akibat kerja juga sama meskipun perlu adanya penyesuaian dengan ketahanan tubuh.
Sebenarnya, pemerintah melalui BPJS sudah memberikan pernyataan hukumnya melalui UU 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan agar setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan tertentu dapat diberikan jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak dengan durasi kerja paling singkat 6 bulan. Tetapi dalam pandangan pemerintah, status mahasiswa sebagai pelaku magang tidak selamanya dianggap sebagai orang yang bekerja sehingga layak diberikan jaminan sosial.Â
Pada tahun 2019, Kemenristekdikti mengawali pembahasan mahasiswa magang di luar kampus dengan menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 123/M/KPT/2019 tentang Magang Industri dan Pengakuan Satuan Kredit Semester Magang Industri untuk Program Sarjana dan Sarjana Terapan yang mengatur pengukuran satuan kredit semester (SKS) untuk magang kuliah.Â
Dalam aturan tersebut, program magang selama 45 jam akan dihitung setara satu SKS. Ini berarti magang ditujukan sebagai bentuk pada pemenuhan akademis yang merupakan bagian kurikulum pendidikan. Mahasiswa pun bisa mengikuti program magang minimal satu bulan dengan lima hari kerja per minggu, dan waktu magang tidak boleh lebih dari delapan jam sehari.Â
Berbeda dengan Kemenaker yang hingga saat ini masih memandang pemagangan merupakan kegiatan untuk menambah pengalaman serta meningkatkan kompetensi dan keterampilan.
Kerancuan seperti ini, pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengakali mendapatkan tenaga kerja dengan upah murah. Dengan dalih pemenuhan nilai akademik, pada praktiknya mahasiswa kerap kali bertindak sebagai pekerja dan mendapati pekerjaan yang sebetulnya dilakukan oleh pekerja betulan.Â
Meskipun hanya dibatasi 30% dari total pekerja, kehadiran magang menjadi salah satu alternatif perusahaan dalam upaya menekan biaya produksi melalui upah murah dan berpotensi menggeser keberadaan pekerja tetap sebelumnya.
Dalih bahwa mahasiswa melakukan pemagangan tidak untuk tujuan mencari kerja dan/atau meningkatkan skill kerja, melainkan secara sukarela dan bertujuan untuk menyelesaikan kewajiban akademik bukan berarti menggugurkannya dari resiko kecelakaan atau kematian saat magang. Dan bukan berarti perlindungan hukum atas keberadaan mahasiswa magang bisa dikesampingkan begitu saja.Â
Pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenaker kiranya perlu duduk bersama untuk mengeluarkan aturan hukum yang mengakomodir perlindungan hukum atas mahasiswa-magang agar di kemudian hari tidak terjadi perkara hukum yang tidak diinginkan, terlebih dengan dikeluarkannya kebijakan Kampus Merdeka tersebut.
Pelaksanaan kebijakan Kampus Merdeka yang membawa mahasiswa ke dunia kerja selama 1 sampai dengan 1,5 tahun pasti akan memiliki dinamika yang tinggi.
 Tanpa ada kejelasan jaminan sosial dan pemenuhan hak hak perlindungan sosial lainnya, tentu akan melanggengkan praktik upah murah di kalangan para pemagang yang berdampak pengurangan buruh ditambah kondisi dan lingkungan kerja yang tidak aman bagi keselamatan dan kesehatan para pemagang/pekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H