Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Start yang Mengecewakan, Oh KPK

23 Januari 2020   11:06 Diperbarui: 23 Januari 2020   11:27 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cukup menarik ketika adanya sebuah pertemuan dengan sejumlah tokoh yang dimintai pendapatnya tentang penerbitan Perpu KPK. Hal ini seolah memberikan angin segar kepada publik. Namun, tak lama setelah itu pertemuan bersama partai politik seakan mengendurkan niatan Jokowi dan dipastikan oleh Juru Bicara Istana Kepresidenan bahwa Presiden Joko Widodo tidak akan mengeluarkan Perpu KPK. Meski gelombang unjuk rasa di berbagai kota pada 24 September 2019 tak membuat Jokowi ayal dengan keputusannya. Dengan alasan ingin menghormati prosesi gugatan UU KPK yang baru di Mahkamah Konstitusi yang masih berjalan kala itu.

Sekali lagi, gaya kepemimpinan Jokowi ditonjolkan dengan tidak mengeluarkan Perpu KPK membuat sejumlah kalangan meragukan upaya Jokowi dalam basis penguatan upaya pemberantasan korupsi.

Abuse of Power KPK

Dalam sejarahnya, pembentukan lembaga lembaga independen negara ditujukan karena ketiadaan lembaga negara lain yang mampu memberikan jalan keluar atas persoalan yang ada. Padahal, dalam era demokrasi ini seringkali tuntutan perubahan dan perbaikan yang muncul di permukaan masyarakat seiring dengan kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh masing masing individu. Belum lagi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalaan ketatanegaraan yang dihadapinya masing masing.

Efek samping yang seringkali dihadapi oleh negara dalam membentuk lembaga ekstra (diluar pemerintahan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) yang bersifat mandiri itu tidak lain adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, serta pola komunikasi dan hubungan kerja dengan kekuasaan pemerintah. Ini juga tidak terlepas dari perebutan pengaruh rakyat dalam pengelolaan negara yang diakomodir oleh pemerintah dan parlemen.

KPK menjadi salah satu dari sekian lembaga independen negara yang terbentuk kala itu. Oleh Presiden Megawati, yang melihat bahwa institusi kejaksaan maupun kepolisian dinilai tidak cukup mampu untuk menangkap para koruptor. Sebetulnya, ide tentang pembentukan sebuah komisi khusus untuk menangani duduk perkara kasus korupsi sudah muncul jauh hari pada masa Presiden BJ Habibie yang menginginkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN dengan mengeluarkan UU Nomor 28 tahun 1999.

Persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, KPK seakan menjadi superbody yang tidak bersedia dikritik dan diawasi oleh pihak luar, sekalipun oleh DPR yang seharusnya menjadi lembaga pengawas bersamaan dengan BPK hingga MA maupun elemen sipil lainnya. Jarang sekali kita melihat evaluasi publik yang diwakili oleh media secara terus terang meng-kritik lembaga ini. 

Alhasil, dominansi keberpihakan masyarakat terhadap KPK lebih tinggi ketimbang lembaga lain. Tak mengherankan jika Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA mengemukakan bahwa tingkat kepercayaan KPK sebesar 85%. Masih lebih tinggi dibanding lembaga lain seperti lembaga Presiden, DPR, Polri, maupun KPU.

Tentunya sebagai lembaga negara, tugas dan kewenangan yang selama  ini sudah diberikan meskipun terdapat ketetapan dan batasanya. Pembatasan yang dilakukan oleh publik memperlihatkan seolah publik memihak dan memercayai tindak laku KPK. 

Memang benar, upaya pemberantasan korupsi perlu didukung oleh semua pihak. Namun cukup membahayakan kiranya ketika publik tidak menaruh pengawasan terhadap suatu institusi sehingga pembelaan atas tiap persoalan yang dilakukan institusi tersebut menjadi pembenaran. Ini terlihat ketika muncul gerakan oleh elemen sipil yang mendukung KPK baik secara institusi maupun ketika menjalankan tugasnya. 

KPK dalam mejalankan tugasnya tidak selalu bertindak benar dalam mengungkap kasus perkara korupsi. Bebasnya beberapa pihak yang sebelumnya didakwakan oleh KPK, tidak terlepas dari lemahnya penyidikan. Itu membuat KPK secara institusi dituntut untuk terus menerus melakukan pembenahan internal. Sebagai basis kerja, KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang tentunya memiliki tingkat kerumitan yang berbeda beda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun