Syair, sebuah bentuk puisi tradisional melayu yang memiliki banyak pesan moral, kini sudah semakin menjauh dari bentuk asli. Para sastrawan mengamati fenomena pada era digital dengan keprihatinan.
Karya sastra lama pada syair merupakan warisan budaya atau adat istiadat yang berharga dari nenek moyang bagi generasi muda di era modern sehingga sedikit meninggalkan jejak digital. Namun, dalam bentuk cetakan atau manuskrip sangat sulit untuk ditemukan karena pencurian dan kurangnya perhatian yang berakibat kerusakan fisik, padahal di era globalisasi syair sangat berpengaruh terhadap dunia peradaban yang semakin maju.
Syair tradisional menggunakan bahasa formal, penuh kiasan, dan memiliki banyak makna tentu mengandung makna tersirat yang mendalam. Dalam era modern, bahasa dari syair modern sulit untuk dipahami karena mengandung gaya bahasa yang tinggi. Generasi muda pun merasa bingung dan tidak mengerti dari pembahasan syair tersebut. Karena semakin berkembangnya zaman, gaya bahasa yang digunakan pun mengikuti orang luar seperti bahasa Inggris, sehingga dapat menimbulkan terkikisnya gaya bahasa. Syair modern juga cenderung menggunakan bahasa sehari-hari, bahkan slang berarti menggunakan ragam bahasa tidak baku atau tidak resmi, yang mengurangi kedalaman makna dan nilai estetika.
Jika dalam dunia pendidikan, generasi muda tidak pernah dibekali ilmu tentang syair, mungkin dapat terjadi cepat atau lambat karya tersebut akan hilang tergerus oleh zaman. Apalagi, syair dianggap simbolisme yang tidak umum.
Syair, cukup dikenal dengan rima dan irama yang menciptakan alunan indah dan mudah diingat yang disebut syair klasik. Namun, syair modern cernderung mengabaikan aspek ini, sehingga hilang data tarik dan kekuatan dari syair klasik tersebut.
Karya sastra lama pada syair dianggap kuno dan tidak relevan pada zaman sekarang yang terkadang menimbulkan kontroversi antar sesama karena perbedaan pendapat. Mereka pun sulit mengartikan penjelasan atau isi dari karya tersebut.
Konteks sejarah dan budaya dalam era saat ini juga dianggap sangat berbeda. Tatkala pembaca modern sulit dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kini, semakin maraknya kenaikan angka ketidaksukaan masyarakat terhadap karya sastra lama pada syair. Mereka lebih mementingkan karya sastra baru yang konteksnya sama dengan dunia sekarang.
Menurut seorang sastrawan Binhad Nurrohmat menilai karya-karya penyair dari era generasi milenial cenderung mengabaikan realita yang berkembang di sekitarnya dan lebih tentang bermakna tanpa beban dalam hidupnya. Di era modern, orang-orang lebih mementingkan dan mengutamakan politik daripada syair. Namun, dengan begitu para sastrawan milenial memanfaatkan media massa online untuk menyebarkan karya-karya sastra mereka seperti blog, situs web untuk dipublikasikan, dibagikan, dan dibaca oleh generasi milenial. Tak luput karya sastra lama juga selalu diangkat menjadi topik hangat untuk mengingat para sastrawan yang telah wafat mendahului kita. Syair klasik atau syair tradisional tersebut menurut pakar sastrawan, memiliki banyak sekali makna tersirat, mengandung bahasa sesuai denga isi, bahkan juga sangat indah saat dilantunkan sesuai irama dan ritme yang indah.
Bukan hanya para sastrawan saja yang mengagumi keindahan syair pada karya satra lama, tapi juga penikmat syair mengakui akan keindahan yang dilantunkan, makna tersirat, mampu menghipnotis setiap pendengar. Diksi yang indah dan imaji yang kuat sangat memikat dengan struktur yang khas dan melodi yang memikat telinga. Namun, syair pada karya sastra lama lebih akrab menggunakan bahasa Indonesia modern daripada bahasa Melayu Kuno.
Sastrawan milenial tidak tinggal diam, ia berusaha menjadikan syair klasik menjadi puisi kontemporer, cerpen, bahkan drama agar lebih dipahami oleh generasi muda zaman globalisasi, tapi tidak menghilangkan esensi syair klasik tersebut malah justru tetap dipertahankan esensi. Contoh, "Syair Perahu" dapat diadaptasi menjadi puisi kontemporer tentang perjalanan hidup, dan "Syair Si Burung Pingai" diinterpretasikan sebagai cerita tentang pencarian jati diri. Sastrawan juga tetap melakukan penelitian dan analisis terhadap karya sastra lama pada syair klasik yang ditulis menjadi esai atau artikel.