Setelah lama absen di Kompasiana, pagi ini tiba-tiba pengen aja nulis judul di atas. Asal mulanya sih gara-gara teman cerita kalau di kantornya yang sekarang, sebuah perusahaan media online, mewajibkan semua reporter dan editornya absen jari (finger absent) di kantor, mau ada liputan sekalipun. Ini juga tentu saja pernah saya alami sendiri ketika masih jadi jurnalis di lapangan, dan tidak pernah saya anggap serius. Yah, istilahnya mbandel. Ada aturan tersebut dan saya memilih tidak menaatinya. Kenapa? Saya gak mau jadi orang bodoh atau dibodohi sistem aneh macam itu. Ingat ya, konteksnya tidak untuk generalisasi semua perusahaan. Kalau kerjanya itu sebagai sekretaris atau bagian akunting atau apapun yang membutuhkan kehadiran di kantor, lain soal.Â
Sebagai jurnalis, editor, atau orang yang bekerja di perusahaan digital service, aturan absen di kantor itu menurut saya gak relevan. Buat apa dibekali laptop, modem, dan handphone canggih kalau setiap hari wajib nempelin ibu jari di mesin absensi? Buat apa jadi jurnalis kalau setiap hari wajib ke kantor setor muka? Kalo zaman dulu sih wajar aja karena cuma ada mesin tik dan gak ada perangkat canggih kaya sekarang. Sayangnya lagi, kehadiran di kantor kadang menjadi nilai krusial atas nasib karyawan di tempat itu. Padahal, kinerjanya bagus, tulisannya juga oke, produktif di lapangan. Cuma gara-gara absen doang, itu karyawan bisa dikontrak seumur hidup tanpa status yang jelas.Â
Saya memang anti office-hour system, makanya memilih jadi jurnalis dan editor yang punya fleksibilitas waktu tinggi. Dengan jobdesk seperti itu, didukung perangkat teknologi serba kekinian, saya seharusnya tidak perlu absen ke kantor setiap hari. Kecuali rapat mingguan dan hal-hal yang menyangkut administratif. Toh, itu lebih efisien dan menyehatkan. Saya bisa memenuhi target tulisan, membuat tulisan bagus dari kamar, mol, taman, sambil ketemu orang-orang baru, sambil masak, nonton tv, dan lain-lain. It more be fun, right? Cuma yaa jelas aja banyak yang ngiri. Apalagi mereka yang emang harus kerja di kantor. He-he-he.
Kalau dipikir-pikir, kerja mobile dan officeless itu banyak untungnya juga buat perusahaan yang bergerak di bidang media digital. Mereka bisa menghemat biaya operasional kaya sewa gedung kantor, beli perangkat laptop, bayar listrik, air, gak perlu hire orang terlalu banyak, tapi potensi pendapatannya tinggi. Selain itu, bisa mengurangi sedikit kemacetan di Jakarta juga kan? Andai banyak perusahaan menerapkan sistem ini, kayaknya sih macet ibu kota gak segila sekarang. Kayaknya loh ya..namanya juga berandai-andai :)Â
Ada yang bilang, sistem mobile working ini lebih banyak untungnya ke karyawan. Memang benar, tapi bukankah itu bagus? Perusahaan punya SDM yang sehat, bahagia, dan mampu meraih target yang ditetapkan? Buat bapak-bapak misalnya, mereka bisa tiap hari antar anak-anak ke sekolah, terus sambil nunggu anaknya pulang, bisa kerja bawa laptop. Buat ibu-ibu muda, sambil masak juga bisa mantengin laptop, abis jagain anak, bisa online lagi. Yang penting kan tahu tanggung jawab pekerjaannya apa. Waktu sama keluarga lebih banyak, kerjaan beres, minim stres di jalan, lebih sehat, dan pasti lebih menikmati pekerjaan.Â
Atau nih ya, kalau emang ada aturan wajib absen di kantor, kantornya dibikin kreatif. Disulap gitu jadi seperti 'rumah', ada playstation, kasur, teras buat ngopi, main catur, halaman yang ditumbuhi bunga, taman, bahkan kolam renang kalo perlu. Eh, ada loh perusahaan yang membuat kantornya seperti ini, dan terbukti produktivitas karyawan jadi bagus banget. Cuma ya tetep aja, buat jurnalis atau editor, mestinya ada kebijakan HRD yang lebih khusus. Karena profesi ini berbeda dengan profesi kantoran yang mainstream.Â
Dipikirnya gak kerja, padahal mah muter-muter ngejar narasumber, mumet bikin berita, belom lagi kalo diomelin redaktur. Dipikirnya enak-enakan kerja di rumah, nyantai, padahal enggak juga. Bagi waktu antara ngurus anak sama nulis jangan dikira sepele. Saya aja yang belum punya anak, kalo kerja dari rumah, mumetnya hampir sama kaya di lapangan karena otak yang kerja, bangun kerangka berita, bangun alur cerita. Tapi, saya jelas lebih fokus karena gak digangguin teman-teman kantor yang seringnya ngajakin nongkrong melulu. Di kantor malah lebih banyak haha hihi-nya dibanding kerja. Dan, memang saya ke kantor cuma untuk haha hihi tadi, bukan murni kerja, apalagi nurutin aturan wajib absen.Â
Gara-gara itu, gak sedikit yang mengira saya belagu. Gak takut kena SP dari HRD gara-gara absen bolong. Ah, peduli apa. Saya gak pernah mikir imej orang atau bos HRD terhadap saya. Yang terpenting, tugas sebagai jurnalis dan editor dikerjakan penuh tanggung jawab. Soal SP, atau bahkan dipecat gara-gara absen, saya gak takut dan alhamdulillah gak pernah. Yang saya yakini, rejeki itu dari Tuhan, dan ladang rejeki itu seluas alam, bukan setinggi gedung kantor.Â
Nih mengutip katanya senior saya:Â "Seorang penulis itu kan yang diliat tulisannya, bukan mukanya. Jurnalis juga yang dibaca beritanya, bukan absensinya. Ketika laptop di depan mata dan handphone dalam genggaman, maka ruang dan waktu seorang pekerja kreatif tak lagi miliki batas. Tak perlu berada di kantor untuk menjadi seorang yang hebat!".
Oh ya, tulisan ini dibuat di rumah, habis bangun tidur, belum makan, sambil nonton kartun, dan bersiap meng-kurasi berita. Berangkat ke kantor? Iya, cuma buat ngocok arisan.. ;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H