Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melongok Rumah Mantan Gubernur DKI Henk Ngantung sebelum Direnovasi

25 Februari 2014   18:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324629" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS/Wawan H Prabowo)"][/caption]

Tulisan saya kali ini masih tentang Mantan Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung. Banyak yang belum tahu, termasuk saya ketika itu, mengenai sejarah maupun kehidupan beliau semasa hidup maupun keluarganya pasca ia meninggal di Jakarta, 12 Desember 1991. Bagian pertama ini saya tulis sekitar 10 bulan lalu saat keadaan rumah masih asli. Bagian kedua dan selanjutnya akan saya bagi bergantian. Selamat menikmati ya teman-teman, semoga bermanfaat.

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Alm. Henk Ngantung / dok. keluarga"]

13933019701110131287
13933019701110131287
[/caption]

************

"Guk..guk..guk..!" Suara gonggongan anjing menyambut kedatangan saya di depan sebuah rumah nomor 25, Rabu (24/4/2013), pukul 18.44 WIB. Rumah ini terletak paling ujung dari Gang Jambu, Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Pintu pagar terbuat dari besi dilapisi seng yang sudah lapuk berwarna gelap. Cukup tinggi sehingga privasi penghuni tetap terjaga.

Tak perlu menunggu lama, seorang wanita paruh baya membuka pintu. Tampak beberapa kerutan di wajah, namun aura kecantikannya masih terpancar. Lengkap dengan sanggul buatan dan tata rias lengkap bak mau pesta. Meski bukan pakaian mewah nan glamor, gaya berbusananya juga seperti anak muda. Atasan pendek warna hitam keabu-abuan dipadu celana legging hitam dan sendal karet berhak sekitar 5 cm. Tak ada yang menyangka jika usianya sudah 74 tahun.


[caption id="attachment_313903" align="aligncenter" width="200" caption="Gang menuju rumah Henk Ngantung"]

13933020411417272046
13933020411417272046
[/caption]

"Hai, aku sudah tunggu dari tadi, lho!" sapanya hangat. Dia mempersilakan masuk. Namun, saya agak ragu karena anjing yang menggonggong tadi bukan cuma satu, melainkan lima. Jenis anjing kampung berwarna kombinasi hitam putih, cokelat, hitam, dan putih. Badan mereka besar. Cukup membuat nyali menciut. Saya pecinta binatang, tapi kalau anjing di depan mata, biasanya saya kabur.

"Ah, tidak apa-apa. Mereka tidak gigit orang. Ayo masuk. Mereka yang sehari-hari jaga saya. Kalau ada orang jahat baru gigit," ujar sang empunya. Masih dengan perasaan was-was, saya paksakan masuk. Kelima anjing pun bertingkah sama dengan majikan. Ikut masuk ruang tamu dan duduk mengitari kami. Sudah bisa ketebak kan perasaan saya? Deg-degan setengah mati. Inilah salah satu liputan berkesan di mana sepanjang wawancara berlangsung, lima ekor anjing duduk manis di dekat saya.


[caption id="attachment_313904" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian anjing yang menemani saya wawancara"]

139330215621179496
139330215621179496
[/caption]

Baiklah, saya perkenalkan wanita ini, Hetty Evlyn Mamesah. Janda dari HenkNgantung, Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965. Sejak kepergian suaminya pada 12 Desember 1991, Eve, begitu ia disapa, menjalani hidup seorang diri di rumah itu. Keempat anaknya sudah menikah. Dua anak perempuan masing-masing Maya Ngantung dan Jemiaty Ngantung tinggal di Belanda dan Manado mengikuti suami, satu anak laki-laki, Kamang Ngantung tinggal di Cipayung bersama mertua, dan satu anak laki-laki bungsu, Karnoputra Ngantung sudah meninggal dunia 11 tahun lalu.

"Ya, anjing-anjing ini yang menemani dan menjaga saya. Sudah seperti anak sendiri," ujar Eve yang waktu itu ditemani adiknya, Sylvia Mamesah, dan anak laki-lakinya, Kamang.

Rumah yang saya datangi ini sangat besar. Luasnya saja mencapai 2.400 meter persegi. Di sisi sebelah ruang utama, ada tiga bangunan terpisah bekas ruang tamu, kamar, dan kamar mandi. Terdapat area ruang terbuka yang mirip sekali dengan hutan. Di situ tumbuh berbagai jenis pohon. Dari mangga, jambu, rambutan, pisang, sawo, sirsak, sampai durian. Belum lagi suara gemericik air sungai yang berada tepat di belakang halaman. Ada sebuah meja yang atasnya ditutupi terpal plastik, juga beberapa kursi untuk bersantai. Benar-benar seperti suasana pedesaan.

"Rumah ini sudah berdiri sejak tahun 1970. Pak Henk dulu beli Rp 5 juta," katanya.


[caption id="attachment_313907" align="aligncenter" width="300" caption="Dari kiri - kanan : Eve Mamesah, Kamang Ngantung, dan Sylvia Mamesah"]

13933025601249299212
13933025601249299212
[/caption]

Namun, sayang seribu sayang. Kondisinya tidak terawat. Banyak daun berguguran yang tidak tersapu. Belum lagi tanaman-tanaman yang tidak tertata dengan baik. Sedikit mencerminkan kesan seram karena cukup sering ular dari sungai merangsek masuk halaman. Di area belakang halaman pun tidak berpagar dan dibiarkan menyatu dengan rumah tetangga yang letaknya lumayan jauh.

[caption id="attachment_313906" align="aligncenter" width="300" caption="Bagian teras depan "]

1393302409832852638
1393302409832852638
[/caption]

Kondisi lebih memprihatinkan lagi ketika masuk ke tiga bangunan di samping bangunan utama yang dulu digunakan sebagai kamar utama dan ruang tamu tempat jenazah HenkNgantung disemayamkan. Suasananya membuat bulu roma berdiri karena tidak ada pencahayaan sama sekali. Bagian atap juga benar-benar rusak dengan beberapa bagian menganga sampai langit pun terlihat. Ditambah isi ruangan yang sangat berantakan dengan tumpukan barang bekas dan kayu kikisan atap.

Masuk ke bangunan utama, ada dua set perabotan meja dan kursi yang bantalan busanya sudah sobek acak-acakan sehingga harus diganjal dengan bantal kecil lain. Untung saja terbuat dari kayu jati yang masih kokoh. Di dekat pintu samping ada sebuah TV 14 inchi merek Sanyo. Katanya, masih berfungsi baik.


[caption id="attachment_313908" align="aligncenter" width="300" caption="Kondisi atap sebelum renovasi "]

1393302667152546315
1393302667152546315
[/caption]

Yang menarik perhatian adalah lukisan-lukisan milik almarhum yang dibiarkan terpajang indah di sekeliling dinding ruangan. Saya bukan pecinta lukisan, juga tidak mengerti makna di baliknya. Hanya penikmat dan kagum dengan lukisan-lukisan tersebut.

"Pak Henk hobi sekali melukis. Semua karya dia. Bahkan, ada yang masih asli dan belum dipigura," ujar Eve sambil menunjukkan sebuah lukisan pemandangan.

Lalu, kami melangkah ke area dapur. Di sini pun tak jauh beda. Tempat pencucian piring sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Begitu juga kompor yang ketika ingin digunakan, harus memakai bantuan tang untuk memutar pemantik karena tutupnya sudah lepas. Keadaan dapur sendiri cukup bersih dengan perlengkapan sederhana.


[caption id="attachment_313910" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu bagian dapur"]

1393302742758065879
1393302742758065879
[/caption]

Satu-satunya area yang paling rapi dan bersih adalah kamar Eve sendiri.  Lumayan luas. Ada satu tempat tidur berukuran king bed dan TV merek Sharp 21 inchi. Di dekat pintu masuk, lemari jati berisi koleksi pakaian aneka warna dan model. Wanita kelahiran Manado, 12 Agustus 1939 itu mengaku semua pakaian dibeli dengan harga murah meriah.

"Kalau jaman dulu iya ada yang mahal. Kalau sekarang mah beli di PGC (Pusat Grosir Cililitan) aja. Cari yang murah-murah, Rp 15 ribuan," ujarnya.

Eve bercerita, pasca Henk meninggal, dia hanya bergantung hidup pada uang kiriman anaknya yang di Belanda sebesar Rp 1 juta - Rp 1,5 juta dan pensiunan sebesar Rp 830 ribu per bulan serta tunjangan pejabat Rp 1 juta dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, tunjangan pejabat tersebut dihentikan pada 2004 sehingga hanya menerima Rp 830 ribu. Kehidupan dua anaknya yang lain bisa dibilang jauh dari mapan. Jadi, bisa dibayangkan, uang yang diterima hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada biaya untuk keperluan lain, apalagi merenovasi rumah yang begitu luas.


[caption id="attachment_313913" align="aligncenter" width="300" caption="Area belakang rumah "]

13933028411167691191
13933028411167691191
[/caption]

Meski banyak yang menawarkan bantuan, dia bukan tipikal peminta belas kasihan orang. Eve hanya meminta perhatian Pemprov DKI, di mana suaminya pernah mengabdikan diri selama kurang lebih lima tahun. Empat tahun, dari periode 1960-1964 menjadi Wakil Gubernur DKI, dan satu tahun dari periode 1964-1965 menjadi Gubernur DKI lantaran gubernur saat itu, Soemarno, diangkat menjadi menteri dalam negeri.

"Anak-anak saya yang protes kalau saya muncul di media massa. Mereka yang malu karena katanya dianggap tidak mengurus orang tua. Tapi, tidak. Saya hanya ingin ada sedikit perhatian dari Pemprov," ujarnya.

Maksud kedatangan Eve menemui Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada Selasa (23/4) tak lain dengan tujuan tersebut. Dia pernah mendengar bahwa ada mantan gubernur DKI, di antaranya Soemarno dan Cokropranoto yang diberi fasilitas rumah setelah pensiun. Mungkin, hal serupa juga bisa ia dapat. Ternyata, Ahok menolak.


[caption id="attachment_313915" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu bangunan utama "]

1393302902707326116
1393302902707326116
[/caption]

"Alasannya karena nggak ada Perda-nya. Mungkin mantan gubernur yang dikasih rumah karena kebaikan gubernur saat itu. Jadi, Pak Ahok menawarkan untuk direnovasi saja. Tapi, kalau mau dijual ke Pemprov saja. Nanti dibeli dengan harga pasar," kata Eve.

Wanita yang hobi berdandan itu mengaku perhatian Pemprov DKI terhadap keluarga mantan gubernur dianggap ala kadarnya. Tidak ada fasilitas rumah dan mobil. Kecuali, pensiunan tiap bulan yang besarannya jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Selagi Henk masih hidup, dia menafkahi keluarga dengan menjual lukisan hasil karyanya sendiri.

"Pensiunan sama tanah 1x2 meter untuk kuburan Pak Henk di TPU Menteng Pulo. Hanya itu. Tidak ada lagi. Kuburannya dulu sangat berantakan, jadi tempat buang sampah. Baru sebulan ini dirapikan oleh penjaganya dan jadi bagus," ujar Eve.


[caption id="attachment_313916" align="aligncenter" width="300" caption="Tempat persemayaman Henk yang akan dijadikan sanggar seni "]

1393302988635811557
1393302988635811557
[/caption]

Perhatian justru datang dari dua mantan gubernur DKI Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Beberapa kali bertandang ke kediaman Sutiyoso, Eve selalu diberi uang sekitar Rp 5 juta. Hingga akhirnya dia jadi tak enak hati karena tidak mau dianggap meminta-minta. Begitu pula dengan yang dilakukan Fauzi Bowo. Pria berkumis ini selalu melunasi tunggakan listrik rumah Henk pada saat ia menjabat sebagai gubernur.

"Saya sudah pernah ketemu Pak Jokowi, tapi dulu sebelum jadi gubernur dan pada saat pelantikan. Kemarin ketemu Pak Ahok, katanya dia mau kasih saya uang Rp 3 juta per bulan dari kantongnya sendiri. Itu Pak Ahok sendiri yang bilang, bukan saya yang minta," katanya.

Pada saat yang sama ketika kami berbincang, dua orang dari Pemprov DKI, terdiri dari Kepala Dinas Perumahan (saat itu) Jonatan Pasodungan dan seorang staf Singgih Purnomo, datang ke rumah. Tujuannya, meninjau bagian yang akan direnovasi.

Singgih yang datang lebih dulu mengungkapkan, kedatangannya malam hari karena perintah Yonathan yang ditugasi langsung oleh Ahok bekerja secara cepat merenovasi rumah HenkNgantung.

"Saya bilang ke atasan, 'Pak, kenapa nggak sekalian besok aja? Ini kan sudah malam,' katanya nggak bisa mesti sekarang karena perintah langsung Pak Ahok," ujar Singgih. Hmm.. tampaknya Ahok mau kerja cepat dan tidak mau asal mengobral janji ya. Patut ditiru nih gerak cepatnya. He-he.

Kalau Singgih mau sedikit cerita, beda dengan Kepala Dinas Perumahan DKI yang menjabat saat itu, Jonatan Pasodungan. Dia hanya memastikan bahwa akan ada satu kali survei lagi terkait gambar desain yang akan dibangun. Intinya, tidak mengubah bangunan asli.

"Kami nggak ubah semua. Dibiarkan aslinya. Hanya mengganti beberapa bagian yang rusak," kata Jonatan yang hanya berada di situ tidak kurang dari 40 menit.


[caption id="attachment_313917" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu bagian rumah "]

13933030791075186602
13933030791075186602
[/caption]

Eve bilang, renovasi dimulai pada Juli 2013, setelah musim hujan selesai. Selain memperbaiki atap dan sejumlah bagian, Pemprov DKI juga melibatkan Dinas Pertamanan dan Dinas Pekerjaan Umum untuk menata area terbuka dan membuat jembatan di sungai yang berbatasan langsung dengan halaman belakang.

"Rencananya mau dibuatkan sanggar lukis juga. Semacam galeri lukisan karya Pak Henk," ujar Eve.

Nah, setelah 10 bulan berlalu, Pemprov DKI menepati janjinya. Rumah Henk Ngantung dipugar menjadi lebih rapi dan layak. Kabarnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan meresmikan sanggar tersebut jika semua pengerjaan teknis sudah rampung. Seperti apa? Tunggu laporan saya ya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun