Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Transjakarta vs Kopaja AC, Pengguna Jasa Jadi Korban

31 Oktober 2014   19:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_350945" align="aligncenter" width="300" caption="Transjakarta/dok.pribadi"][/caption]

Perubahan sistem transportasi yang digagas Jokowi-Ahok sejak beberapa tahun lalu membuat saya kagum. Pembenahan di sana sini, tentu diharapkan membuat pelayanan semakin baik dan rapi. Tapi, kejadian Rabu (29/10) malam membuat saya sebagai pengguna jasa, kecewa.

Sebenarnya, saya agak malas juga mau mengulik soal ini. Tapi, rasanya ada yang mengganjal jika fakta ini tidak saya tulis. Saya merasakan ketidakberesan sistem tiket di halte Transjakarta sejak pekan lalu.

Ceritanya, saat saya pulang kantor sekitar jam 20.30, saya tidak menemukan petugas penjual tiket Kopaja AC di Halte Kuningan Timur. Saya pikir, tiketnya dijual di loket Transjakarta seperti dulu. Ternyata, tidak. Saya diharuskan bayar dua kali dengan membeli tiket Transjakarta lebih dulu.

“Iya, soalnya petugas kopaja-nya sudah pulang Mbak dari jam 8 tadi,” kata si Mbak petugas loket.

Aneh, pikir saya. Harga tiket Kopaja AC P20 itu sudah dinaikkan, dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000 ketika tiket tersebut kembali dijual di halte Transjakarta. Lalu, kenapa harus balik lagi bayar dua kali hanya karena petugas sudah pulang?

Oke, saat itu saya iyakan saja. Sekali, dua kali, saya terpaksa menerima karena malas berdebat. Akhirnya, saya mencari ‘keadilan’ sendiri dengan membeli tiket Kopaja AC lebih dulu, yakni pada saat siang mau berangkat ke kantor.

Pernah satu kali, ketika siang jam 12, si petugas Kopaja AC ini belum datang. Jadi, penumpang yang mau menggunakan jasa tersebut, mesti bayar dua kali. Padahal, operasional Kopaja AC itu dari pagi hingga jam 10 malam.

Yang paling bikin emosi, ketika Rabu (29/10) malam, tiket Kopaja AC yang saya beli pada siang hari, ditolak petugas Transjakarta. “Wah, ini enggak bisa begini. Petugasnya kan sudah pulang,” . Saya mencoba menjelaskan, “Lho, apa bedanya sih? Tiket saya ini masih berlaku di tanggal ini, saya hanya beli sejak siang karena saya tahu petugas pulang jam 8, yang penting saya beli tiket di hari yang sama,”.

Petugas Transjakarta di halte Kuningan Timur ini malah bikin emosi saya memuncak, dengan bersikeras menolak tiket Kopaja AC. Katanya, “Nanti, datanya beda,”. Lho, data apa sih? Potongan tiket untuk petugas kan sudah dipotong tadi siang. Saya hanya tinggal menggunakannya saja.

Saya paham, petugas itu enggak mengerti apa-apa. Sekadar menjalankan perintah atasan yang melarang penjualan tiket Kopaja AC. Makanya, saya berpikir ada yang salah dengan sistem ini. Logika saya enggak nyampe.

Di satu sisi, saya mengapresiasi Pemprov DKI, terutama Ahok yang punya komitmen besar untuk memperbaiki sistem transportasi publik di Jakarta dengan terobosan e-ticketing di halte Transjakarta. Sistem ini tentu meminimalisir penyalahgunaan anggaran dan membuatnya lebih rapi.

Namun, di sisi lain, ada banyak masalah yang akhirnya membuat masyarakat pengguna jasa menderita kerugian paling besar. Seperti, tiket Kopaja AC di halte Transjakarta yang ‘diatur’ seenaknya oleh petugas, sehingga kalau mau beli mesti menunggu petugas tiket datang. Kalau belum datang, pengguna diwajibkan bayar tiket dua kali. Hal itu karena pihak Transjakarta enggak mau jual tiketnya.

Saya sempat menghubungi pihak Transjakarta. Mereka terkesan ‘lepas tangan’. Ibaratnya, ‘ya terserah elo deh oi APTB, Kopaja AC, yang lewat jalur gue, mesti pakai e-ticketing. Kalau enggak, ya bayar dua kali’ . Ini mungkin karena mereka kesal sama Kopaja yang enggak mau juga ikutin peraturan yang dibuat Pemprov DKI terkait e-ticketing.

Dari pihak Kopaja, saya dari kemarin mencoba menghubungi pejabatnya, tapi mungkin lantaran tahu saya wartawan, ini orang pura-pura gak dengar hape-nya bunyi, atau pura-pura sibuk, atau mau menghindar. Pokoknya sms dan telepon saya tak digubris. Padahal, cuma mau minta konfirmasi dan penjelasan aja.

Kalau memang pihak Kopaja ini enggak mau ‘investasi’ atau ngikutin sistem e-ticketing, menurut saya, enggak usahlah lewat jalur busway. Daripada kayak sekarang ini. Penumpang yang mau pakai jasanya, mesti dibuat ‘ketergantungan’ sama petugas, bukan diatur oleh ketentuan pelayanan publik.

Kalau memang tergantung sama petugas tiket, ya ubah dong jam operasionalnya. Jangan Kopaja AC beroperasi sampai jam 10 malam, lantas penumpang yang datang jam 9 malam harus bayar dua kali gara-gara petugas pulang. Lebih baik, kalau petugas sudah pulang, Kopaja AC jalan di jalur biasa.

Akhirnya yang terjadi apa? Banyak hal-hal yang makin kacau. Kayak penumpang harus ‘bertaruh nyawa’ nyebrang ke arah jalur busway, dan menunggu di separator demi untuk enggak bayar tiket dua kali saat petugas penjual tiket belum datang atau sudah pulang. Ada juga kayak saya, yang akhirnya beli tiket lebih dulu untuk dipakai malam hari, tapi mesti berantem sama petugas Transjakarta.

Apalagi, yang bikin ketidakadilan ini makin besar, tarif tiket Kopaja AC P20 itu sudah naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000 pasca diberlakukan kembali penjualan tiket di halte busway. Saya pikir, kenaikan ini akibat kompensasi yang mereka bayarkan pada pihak Transjakarta. Ternyata, bukan. Penumpang tetap saja bayar dua kali kalau petugas tiketnya belum datang atau sudah pulang, sehingga total yang harus dibayarkan Rp 9.500.

Eh, ada yang aneh juga. Karena di kertas pengumuman yang ditempel di jendela Kopaja, keputusan kenaikan tarif itu tertera tandatangan Jokowi dan tanggal dikeluarkannya SK itu, (kalau saya tidak salah) awal 2013. Kalau betul demikian, kenapa baru sekarang diberlakukan, di saat yang sama dengan pemberlakuan kembali penjualan tiket Kopaja AC di halte busway?.

Selain itu, yang merasa rugi juga bukan penumpang saja. Sopir dan kernetnya pun merasakan hal serupa. Setoran mereka bahkan pernah berkurang sampai 50 persen gara-gara pihak Transjakarta melarang penjualan tiket Kopaja AC di halte mereka.

“Penumpang banyak yang beralih ke reguler (Kopaja non AC) karena katanya terlalu mahal mesti bayar tiket dobel,” kata salah satu sopir yang saya temui.

Alhasil, mereka pun mencari cara menyiasati hal tersebut dengan ‘bandel’ pindah ke jalur non-busway. Terutama kalau sudah di kawasan Kuningan. Tapi, cara ini pun kerap jadi masalah karena bisa tiba-tiba diberhentikan oleh petugas yang mengaku dari Dishub DKI. Saya pernah mengalami sendiri hal itu.

Selintas yang saya dengar, petugas itu melarang Kopaja AC lewat jalur biasa sebelum jam 9 malam. Sementara, sopir berdalih agar setoran sesuai target. Macam simalakama saja kan.

Pernah juga, sopir Kopaja AC bentrok sama sopir Kopaja reguler karena dianggap ‘mengambil’ trayek di jalur biasa lantaran penumpang lebih memilih Kopaja ber-AC. Ada lagi, penumpang mendadak diturunkan di tengah jalan, disuruh ganti ke Kopaja yang di belakangnya. Belum lagi harus merasakan kebut-kebutan gara-gara sopir kejar setoran.

Pemprov DKI sendiri menginginkan agar masyarakat beralih menggunakan transportasi publik. Ujungnya biar mengurangi kemacetan yang sekarang makin parah. Tapi, dengan kondisi seperti ini, saya justru meyakini ke depan Jakarta akan lebih macet.

Ya, karena orang-orang yang dirugikan seperti saya, memilih pakai taksi atau bawa kendaraan pribadi. Lebih nyaman, dan enggak perlu berdebat untuk sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak-pihak berkepentingan.

Saya melihat, baik Pemprov DKI, Transjakarta, dan Kopaja sama-sama mengurusi kepentingannya sendiri. Transjakarta enggak mau mikirin soal APTB atau Kopaja AC. Begitupun sebaliknya. Mereka sama-sama cari ‘aman’. Pengguna jasa ya disuruh pikirin nasibnya sendiri dan ‘dipaksa’ menerima kebijakan ngawur itu.

Untuk Pemprov DKI, terutama Ahok yang sekarang memimpin kota ini, perlu diingat bahwa transportasi di sini bukan hanya Transjakarta. Jadi, buatlah kebijakan yang mengakomodir kepentingan masyarakat. Bukan hanya untuk satu kepentingan, dan satu keinginan.

Jika benar Kopaja yang bermasalah enggak mau ikut sistem, ya kasih-lah tindakan tegas. Enggak perlu lagi ada Kopaja AC yang maunya numpang lewat di jalur busway tanpa berinvestasi. Toh, ini lebih adil. Pengguna jasa punya pilihan yang lebih masuk akal, sopir Kopaja bisa cari setoran lebih baik, dan pihak Transjakarta juga kan tidak merasa dirugikan.

Untuk pihak Transjakarta sendiri, saya rasa perlu lebih banyak melakukan edukasi buat karyawan, terutama yang bertugas dan berhadapan langsung dengan konsumen. Supaya enggak kelihatan bodoh dan mampu memberi pelayanan lebih baik.

Mungkin banyak orang yang apatis dan menganggap “Ya, sudahlah. Memang sistem di negara ini aneh. Terima saja. Toh, rakyat enggak bisa juga berbuat banyak,”. Betul. Saya pun enggak bisa memaksa agar pelayanan transportasi publik di Jakarta lebih baik. Tapi, fakta ini harus saya ungkapkan. Bahwa ada sesuatu yang salah dan tidak adil, itu harus disampaikan.

Syukur-syukur diperhatikan. Enggak pun, enggak masalah kok. Karena sejak hari itu, kini saya memilih pulang kantor naik taksi ke Gondangdia. Tarifnya cuma beda Rp 3.000 - Rp 5.000 doang dibanding harga tiket dua kali bayar di halte Transjakarta. Macet sedikit lumrah kok. “Kalau enggak macet mah namanya bukan Jakarta atuh, Neng,” kata si Bapak sopir taksi. He-he.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun