Mentari kembali lagi,
Berseria embun pagi.
Seakan semesta berdialog
Dan menyampaikan sesuatu.
Pagi merekah, rindu membuncah.
Ingatanku tak kuasa berontak
Luka dalam tanpa darah,
Perih yang purba.
Jarak seringkali,
Menjadi ibu dari sajak-sajak.
Sebab dimata kita,
Barangkali rindu memang hujan
Yang mengenang kepergianmu.
Â
Dalam lelap maupun sadar,
Aku masih bisa memimpikanmu.
Aku masih merindukanmu. Seperti,
Api melawan redup.
Rasanya sama saja.
Â
Aku tak mampu mengurai benang dikepala,
Mengulur dan menjahitnya tuk jadi pelukan.
Tak kuat ku menahan serta melihat
Hatiku yang mengalirkan harapan,
Dan memohon agar kau kunjung datang.
Â
Dirimu dimana...
Mengapa kau datang dengan membawa segudang cinta,
Lalu kau renggut semuanya,
Dan hanya meninggalkan luka.
Lantas bagaimana dengan perih ini
Yang memakan kata demi kata.
Â
Bagaimana pula dengan rinduku,
Yang sedang melilit tubuh ini.
Dan bagaimana dengan harapanku..
Yang membuatku terjebak dalam lubang ini..
Â
Kata orang, yang abadi itu kata-kata
Maka kuabadikan engkau sebagai puisi,
Akar kehilangan yang tak kunjung kembali.
Â
Dibalik layar : snbr