Mohon tunggu...
Firdalis Angga
Firdalis Angga Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perkara Sertifikat Ganda

28 Maret 2018   16:35 Diperbarui: 28 Maret 2018   16:36 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah tanah adalah masalah yang sangat mendasar yang menyangkut hak rakyat pribadi dan sangat rentan akan sengketa perebutan hak kepemilikan. 

Salah satu contoh kasussnya adalah sengketa tanah seluas 2.080 meter persegi yang terletak di kelurahan Pondok Jaya Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan, antara pengembang PT.Jaya Real Property  dan warga yang masih belum menemukan titik terang sejak tahun 2008 silam.

Bermacam upaya mencari keadilan dilakukan oleh ibu Ani Sricahyani (Istri dari pemilik lahan tersebut), mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), menyurati Kementrian terkait, Mabes Polri, hingga mengadukan masalah nya kepada Presiden, namun hingga kini keadilan belum juga tercapai baginya.

Berawal dari klaim Pengembang Jaya Real Property bahwa tanah dengan persil No. 65 adalah milik mereka, sehingga Ibu Ani merasa keberatan atas klaim pengembang tersebut karena persil No. 65 adalah miliknya dengan menunjukan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 297 Tahun 1991 dan melakukan perlawanan hingga kini. Sebagaimana yang sudah tertera dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. 

Menurut kuasa hukum Ibu Ani Dr. Egi Sujana, SH. M.Si, tanah milik pengembang JRP itu adalah dengan persil No. 63, sedangkan tanah milik klien nya adalah persil dengan No. 65. Sehingga dengan perbedaan Nomor persil tersebut maka sangat jelas ada perbedaan fakta hukum.

"Mereka tadi beralasan tanah ini sudah di eksekusi, namun perlu diketahui, eksekusi yang dimaksud adalah persil No. 63 dan bukan persil No. 65, jadi dengan pengertian itu sudah jelas berbeda fakta hukum nya, bahkan upaya pengukuran ulang pun dihalang-halangi oleh pihak JRP", tambah egi.

Namun, berbeda lagi menurut kuasa hukum PT. JRP, Fauzi Siregar SH, bahwa pengukuran ulang tanah oleh pihak BPN yang menjadi sengketa tersebut tidak lah tepat, karena sudah dimenangkan oleh pihak kami dan sudah dilakukan eksekusi sesuai keputusan MA pada tahun 2010 Silam.

" Pertama dari segi hukum kita sudah menang, mulai dari tingkat PN pada tahun 2007, sampai tingkat  MA. Tahun 2010. Setelah itu dimohonkan penetapan eksekusi lahan oleh JRP kepada PN Tangerang pada tahun 2013 lalu", tutur Fauzi.

Selanjutnya Jemmy D. Winerungan, Kasie Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN kota Tangerang Selatan menjelaskan duduk permasalahan sengketa tanah tersebut hanya berdasarkan fakta hukum yang ada.

"Kedua dua nya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Yang Sah Di keluarkan oleh BPN, dan Masing masing pihak pun dimenangkan oleh Pengadilan Negeri baik untuk kasus Perdata maupun kasus Pidananya. Bahkan oknum pegawai BPN sempat ada yang ditahan oleh pihak Kepolisian namun sudah dibebaskan karena dianggap laporan ibu Ani sudah kadaluarsa", Jelas Jemmy.

"Kami dari pihak BPN Kota Tangerang Selatan, hanya bisa menunggu keputusan yang lebih valid dari pimpinan BPN RI. Oleh sebab itu, BPN Kota Tangerang Selatan berdiri ditengah tengah atas sengketa tersebut, karena kasus ini sudah ditangani oleh pimpinan kami di BPN RI," tambahnya.

Diketahui bahwa sengketa tanah ini sudah terjadi sejak tahun 2008 silam, dimana pemilik lahan Punto Wibisono yang memiliki bukti kepemilikan sertifikat tanah hak milik (SHM) No. 297 tahun 1991 oleh BPN Kabupaten Tangerang, yang kemudian digugat oleh pihak pengembang JRP secara diam diam.

Lalu sampai dimana kah muara sengketa ini akan berhenti??

Seperti diketahui Badan Pertanahan Nasional (BPN) kerap menuai kritk. Salah satunya kadang ada sertifikat ganda di suatu tanah, namun BPN memilik alasan tersendiri atas permasalahan tersebut.

Kata Kepala Pusat Hukum dan Humas BPN Kurnia Toha, Menurutnya, salah satu alasan adalah pihaknya belum mempunyai peta dasar  dan tentunya tak lepas dari kelalaian. Namun ketika ada oknum pihak BPN yang "bermain" dalam permasalahan sertifikat ganda tersebut.

*) Oleh Angga Firdalis, Mahasiswa IAIN Jember, Program Studi Hukum Tata Negara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun