Mohon tunggu...
Firda Afkarina
Firda Afkarina Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Menulis bukan untuk terkenal tapi lebih kepada keabadian Dalam konten ini saya berfokus pada penulisan berita, artikel ringan, hingga tips dan trick yang dikemas secara singkat dan mudah dipahami

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi di Tubuh Pemilu Kota Probolinggo, Tata Kelola Pemerintahan Dipertanyakan?

7 September 2023   20:19 Diperbarui: 7 September 2023   20:39 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2024 disebut sebagai tahun keramat dalam sejarah indonesia. Hampir semua orang mengetahui, tahun ini disebut sebagai ajang pesta demokrasi. Tidak dapat dipungkiri di negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu melahirkan pergantian pemimpin yang secara langsung dipilih oleh rakyat. Salah satu cabang dari pemilu adalah Pilbup. 

Pemilihan umum bupati dilakukan serentak dalam suatu wilayah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pilbup secara langsung kekuatan figure calon bupati penting ditunjukkan. Contoh nyata pemilihan umum bupati Probolinggo yang secara serentak dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018, mengikuti jadwal pilkada serentak gelombang ketiga oleh KPU.

Kota probolinggo termasuk salah satu kota yang mengikuti ajang demokrasi ini. Dari berbagai calon yang maju, nama Puput Tantriana Sari termasuk salah satu terkuat. Penyebab utama nama Puput Tantriana Sari unggul dalam Pilbup adalah kinerja dan kedekatannya dengan masyarakat, tetapi peran politik dinasti sangat kuat terjadi. Melanjutkan kepemimpinan dari sang suami semakin memperkuat fakta dinasti politik di daerah Probolinggo. 

Melihat fakta inilah penulis tertarik mengkaji sejauh mana dinasti politik mempengaruhi pemilu di Indonesia khususnya didaerah Probolinggo. Peran pemerintah dipertanyakan dalam mengelola pemilu yang bersih dari korupsi.

Data menyebutkan paslon Hj. Puput Tantriana Sari, S.E dan Drs. HA. Timbul Prihanjoko (HATI) berhasil unggul dari paslon H.Abdul Malik Haramain dengan angka 345.473 suara atau 54,93%, sedangkan paslon H. Abdul Malik mendapatkan suara 254.337 suara atau 40, 44%. Berdasarkan data diatas kepercayaan publik lebih yakin kepada paslon Puput Tantriana. Secara tidak langsung tingkat kepercayaan publik penting dalam pemilu. Disini kekuatan seorang komunikator politik dalam memanfaatkan potensinya sangat berperan.

Menurut pendapat dari Saputra, Haryono dan Rozikin mengatakan bahwa dalam pilbup, peran marketing politik yang dilakukan oleh tim sukses sangat menentukan keberhasilan dari calon bupati. Riset yang pernah dilakukan di Kota Malang tahun 2013 lalu menyatakan bahwa tanpa rancangan pemasaran politik yang matang, akan sulit bagi pasangan calon untuk menang (Saputra, Muhammad Ichsan, Bambang Santoso Haryono, 2014).

Tetapi pilbup di Kota Probolinggo ini dinilai mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Dari sisi positif akses pemilihan secara demokratis terlaksana dengan baik. Sedangkan sisi negatif adalah politik dinasti dan money politik sangat kuat.

Tidak dapat dipungkiri, proses pemilu di Indonesia memiliki celah negatif. Pemilu identik dengan persoalan dana, baik kebutuhan anggaran dana proses biaya pilbup maupun biaya politik yang harus dikeluarkan oleh masing-masing calon. Bagi pemerintah pilbup menghabiskan anggaran besar.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Probolinggo menyebutkan bahwa pilbup Kota Probolinggo kurang lebih memerlukan anggaran Rp 97 miliar. Hal tersebut karena pemilihan bupati beriringan dengan pemilihan gubenur.

Angka tersebut dibilang fantastis bagi kalayak umum, tetapi bagi pemerintah dan calon legislatif hal tersebut sesuai dengan kebutuhan anggaran. Sehingga tak jarang banyak berita menyatakan bahwa pemilu adalah satu sebab maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 

Hal tersebut diperkuat dengan data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan bahwa setiap tahun angka kasus KKN yang dilakukan pejabat pemerintahan setiap tahun meningkat. Tahun 2017 tercatat ada 77 kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan lebih 300 kepala daerah terkena masalah.

Fenomena ini sejalan dengan kota Probolinggo. Kota asri daerah jawa timur ini terkenal dengan politik dinasti, khususnya pemerintahan bupati. Fenomena politik dinasti sudah tidak asing lagi terdengar di telinga masyarakat. menurut pendapat Daniel mengatakan bahwa politik dinasti adalah fenomena umum dan telah lama hadir di banyak negara demokrasi modern.

Realitasnya keberadaan politik dinasti menjadi salah satu penyebab pemilu menjadi tidak baik, sebab calon yang diusung dari keberadaan politik dinasti hampir dipastikan mempunyai jaringan tim pemenangan yang sudah mapan, terstruktur dan menggurita. Calon tersebut memiliki keunggulan dalam memenangkan kompetensi, mulai dari sumber daya, popularitas, hingga jaringan kekuasaan. 

Model politik dinasti ini memiliki dampak buruk dalam proses demokrasi. Sistem kekerabatan yang terjalin dalam lembaga berusaha menutupi celah kesalahan dari anggota legislatif yang lain. Sistem ini semakin diperkuat jika anggota kerabat saling mendukung demi keuntungan pribadi.

Hal tersebut sudah terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati Probolinggo Puput Tantriana bersama suaminya, Hasan terungkap kasus suap jual beli jabatan kades. Kasus TPPU tersebut mencapai 104,8 miliar. 

Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, mengapa kasus sebesar ini baru terungkap sekarang?

Mungkin masyarakat bertanya-tanya terkait kasus tersebut. Korupsi sebesar itu kenapa baru terungkap sekarang? Apa mungkin politik dinasti selama ini berusaha menutupi kasus korupsi tersebut ?. Secara tidak langsung kepercayaan masyarakat kurang terhadap pejabat pemerintah. 

Contoh rasa kurang percaya masyarakat kepada instansi pemerintah tercermin saat proses pemilu. Masih tingginya angka golput dan tidak sah dalam pemilu bukti masyarakat kurang rasa kepercayaan kepada masyarakat. Padahal pemilu adalah gerbang awal dalam menentukan nasib negara.

Keberadaan politik dinasti menimbulkan pro kontra dalam masyarakat khususnya kota Probolinggo. Sehingga peran pemerintah dipertanyakan untuk mengatasi masalah tersebut. Pembatasan kekuasaan perlu dilakukan agar proses demokrasi berjalan baik. Pemilu seharusnya berlandaskan pada asas aman, bersih, dan jujur. Namun, fakta di lapangan mengatakan bahwa pemilu hanya dijadikan batu loncatan bagi segelintir elit untuk memperoleh suara.

Mengacu pada peraturan perundang-undangan di Indonesia tampaknya belum memberikan kepastian secara nyata terhadap kewenangan pejabat politik, terutama daerah. Dampaknya, kepala daerah bertindak sebagai “raja” bagi sistem pemerintahan yang mereka jalani sendiri. Wewenang yang besar memberikan kesempatan kepada pejabat untuk melampaui batas, sehingga mudah terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana kasus yang telah terjadi di kota Probolinggo

Sumber Referensi

Saputra, Muhammad Ichsan, Bambang Santoso Haryono, M. R. (2014). MARKETING POLITIK PASANGAN KEPALA DAERAH DALAM PEMILUKADA Studi Kasus Tim Sukses Pemenangan Pasangan Abah Anton dan Sutiaji dalam Pemilukada Kota Malang 2013. Jurnal Administrasi Publik, Volume 02.

Suharto. (2015). Memperolok Demokrasi Lokal, Harian Suara Merdeka. 15 Oktober 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun