Ujian Nasional merupakan salah satu standar kelulusan bagi siswa yang duduk di bangku sekolah, dimana tes tersebut dilakukan secara nasional pada jenjang pendidikan menengah. Ujian yang di sajikan dalam bentuk soal-soal yang harus di jawab dengan kemampuan High Order Thinking Skill atau dikenal dengan istilah HOTS, membuat anak anak harus berfikir keras bagaimana menyelesaikan sebuah masalah yang rumit dan mencari pemecahan masalahnya.
Namun pada kenyataannya soal yang di sajikan bukan memudahkan siswa, justru membingungkan dan menyulitkan tanpa mengukur tingkat kemampuan siswa. Alih-alih ingin menghasilkan lulusan berkualitas yang kritis dan kreatif dalam rangka meningkatkan Indeks Prestasi Siswa di tingkat Internasional, justru malah sebaliknya.
Lalu muncul pertanyaan apakah dengan Ujian Nasional tersebut siswa bisa menjawab segala tantangan yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang. Atau pernahkah pemerintah berikir untuk membuat soal-soal yang tidak hanya selesai pada tataran nilai semata, tapi bagaimana soal itu menjawab kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka hadapi kelak.
Riset dan kajian hingga studi banding sudah banyak di lakukan ke berbagai negara setidaknya sudah cukup untuk merumuskan bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, tapi mengapa Ujian Nasional masih ada dan sama dari tahun ke tahun.
Perbedaannya sekarang hanya cara mengerjakannya dari paper base ke paper less atau Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), yang hanya menitik beratkan pada sisi pemahaman dalam mengerjakan soal saja tidak pada pemahaman nilai nilai moral di dalamnya. Jadi wajar jika siswa hanya mendapatkan hasil nilai akademik saja, tanpa mendapatkan nilai pemahaman lainnya dari ujian tersebut.
Tiga tahun belajar sungguh tidak adil rasanya jika kelulusan di tentukan oleh empat mata pelajaran, namun pernahkan kita sadari bahwa siswa di sekolah sudah belajar tentang Menghargai diri sendiri (regarding self), Menghargai orang lain (relation to others), Menghargai lingkungan dan keindahan (relation to nature & the sublime), Menghargai kelompok dan komunitas (relation to group & society), hasil dari pendidikan karakter yang  bapak Ibu Guru tanamkan melalui internalisasi di setiap materi pelajaran.
Nilai-nilai karakter diatas tidak tercantum pada buku pelajaran, dan tidak semua sekolah menerapkan model pembelajaran seperti ini.
Model seperti ini di terapkan oleh sekolah yang memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap penanaman nilai-nilai moral di sekolah berbasis agama, seperti pesantren dan Sekolah Islam Terpadu yang mengadop kurikulum dinas dan kurikulum internal yang berbasis pada nilai nilai spiritual agama. Sehingga diharapkan setelah lulus nanti siswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari hari.
Hal yang berlaku di negeri sakura Jepang. Dalam hal pendidikan yang lebih diutamakan dalam tradisi Jepang adalah mengajarkan sopan santun dan tingkah laku yang baik pada siswa. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya "moral".
Ini yang menjadi fondasi untuk ditanamkan "secara sengaja" pada anak-anak di Jepang. Biar bagaimana pun, karakter harus dikembangkan lebih dulu. Di kelas, siswa harus menunjukkan bagaimana seharusnya mereka bersikap dengan guru serta teman sebaya.
Jika memang betul soal ujian menggunakan HOTS membentuk karaker siswa, sebagaimana di lansir oleh Republika (Kamis, 19 April 2018),  lalu pertanyaanya kenapa masih muncul gejala sosial seperti perilaku kriminal, pergaulan bebas, pesta narkoba, hingga pesta miras yang banyak melibatkan anak bangsa. Jika kita mau jujur inilah  produk dari pendidikan yang selama ini diterapkan oleh negara kita. Pendidikan yang lebih mengedepankan hasil dari pada proses.
Mengagungkan angka dari pada norma. Mengedepankan persaingan dengan sistem ranking dari pada kebersamaan. Mengutamakan prestasi akademis dari pada non akademis. Padahal kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh prestasi yang bersifat akademis semata. Seperti kecerdasan emosional bagaimana menghargai untuk bekerjasama dengan orang lain dalam satu tim.
Tidak akan pernah diperoleh anak cerdas dalam sistem pendidikan yang lebih mengutamakan angka-angka dan hasil. Sedangkan yang dibutuhkan dalam dunia kerja saat ini, bukanlah hanya kepintaran individual tetapi kemampuan seseorang untuk peduli terhadap sesama dan bekerjasama dalam tim. Hal inilah kiranya yang perlu menjadi renungan bersama buat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H