Malaikat Kecil
Pada jam istirahat aku pergi ke perpustakaan sekolah hendak meminjam sebuah novel. Di dalam perpustakaan telah ramai dengan aktifitas siswa, mulai dari membaca buku hingga mengerjakan tugas-tugas sekolah. Aku duduk di sebelah siswa kelas 2 SD yang tengah asyik membaca Ensiklopedia Islam. Kelihatannya dia sangat serius membaca dan aku tidak ingin mengganggunya.Â
Tiba-tiba dia menoleh kepadaku dan melontarkan sebuah pertanyaan, "Bu Guru kenapa wanita muslim harus memakai jilbab?" Pertanyaan itu langsung membuat lidahku kelu dan mulutku membisu seketika, bingung bagaimna harus menjawabnya, sedangkan diriku belum pernah memakai jilbab. Sudah menjadi prinsipku, setiap pertanyaan harus aku jawab dengan sebuah contoh keteladanan.Â
Karena itu akan membuat muridku tidak hanya memahami akan sebuah ilmu pengetahuan dan wawasan sekaligus juga mengajarkannya sebuah pengaplikasian dari ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Muridku masih menunggu jawaban dariku. Namun aku masih terdiam hingga keringat dingin keluar dari keningku. Aku terus berfikir dan berintrospeksi diri sambil mencari jawaban yang tepat agar muridku tidak kecewa atas jawaban yang diberikan, dan akupun menyerah, " Nak, maafkan ibu guru.Â
Ibu belum bisa memberikan jawabannya hari ini, berikan ibu guru waktu untuk mencari jawabannya hingga esok hari, ya?" terangku padanya. "Yah..., Bu guru!" keluh muridku kecewa. Sedih bercampur malu aku pun beranjak pergi menuju ruang guru, meninggalkan muridku yang tengah membaca Ensiklopedia Islam.
      Malam harinya aku gelisah, terjaga dari tidurku, rupanya pertanyaan itu membuatku tidak bisa memejamkan mata. "Apa yang harus aku lakukan?" hatiku  menjerit. "Jilbab kenapa harus jilbab!" hatiku terus bertanya lagi. Aku melamun, menerawang membayangkan pertemuanku dengan muridku, lalu berkata "Nak, tolong kamu mengerti Ibu guru.Â
Bukannya Ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmu, hanya saja ibu guru  merasa belum siap saja. Apa yang akan dikatakan oleh teman-teman Ibu nanti kalau Ibu mengenakan jilbab, mereka pasti akan mecomooh dan mengejek Ibu dengan berbagai sebutan, tua lah, norak lah, ketinggalan jamanlah dan sebutan-sebutan lain yang membuat harga diri Ibu jatuh di hadapan mereka." Gumamku. Lamunanku pun kian menerawang. Stigma buruk tentang jilbab rupanya telah meracuni otakku, saat aku membaca sebuah artikel di media cetak yang menyebutkan bahwa "Fanatisme terhadap ajaran tertentu dengan memakai simbol--simbol agama seperti jilbab dan sorban di dalamnya pasti terdapat sebuah gerakan-gerakan ekstrim yang ingin melawan pemerintahan." setelah membaca artikel itu, hatiku seakan menolak keras jilbab. Karena jilbab aku identikan dengan sebuah gerakan pemberontakan.Â
Ditambah lagi doktrin yang di berikan oleh dosenku dulu yang mengatakan bahwa jilbab atau yang dikenal dengan  hijab bagi perempuan itu tidak wajib hukumnya, karena itu merupakan budaya arab dan hanya berlaku untuk orang-orang arab saja, tidak untuk kita orang Indonesia.  Mengingat itu hatiku semakin kalut, pikiranku berkecamuk, bingung jawaban apa yang harus aku sampaikan pada muridku besok. Aku teringat dengan teman kuliahku yang bernama Nengsih. Dia adalah teman sekelasku saat kuliah dulu.Â
Sekarang dia sudah menikah memiliki dua orang anak dan tidak hanya itu dia sudah memakai jilbab sekarang, dulunya tidak. Nengsih yang aku kenal dulu adalah anak gaul, sedikit tomboy dan sering gonta-ganti pacar. Sepertinya aku harus bertanya, kira-kira apa yang membuat dirinya berubah haluan, hingga memutuskan untuk memakai jilbab, lalu apa yang melatarbelakangi wanita seperti Nengsih memakai jilbab." Kemudian aku mengambil HP ku yang tergeletak di atas meja rias, lalu mencari nomor telepon Nengsih di sebuah catatan kecil yang sudah nampak usang dimakan usia. Â
Setelah ketemu Aku langsung menghubugi nengsih, sambil berharap nomor teleponnya belum ganti. Beberapa saat kemudian nada sambung terdengar. "Tuut...., tuut...., tuut....!" Lalu seseorang menyapa.
"Assalammu'alaikum!"