Wilhelm Dilthey, seorang filsuf Jerman abad ke-19, dikenal sebagai tokoh yang menekankan pentingnya memahami kehidupan manusia melalui pengalaman dan ekspresi. Dalam pemikirannya, kehidupan bukanlah sesuatu yang dapat dijelaskan secara mekanis seperti fenomena alam, tetapi harus dipahami melalui makna yang diungkapkan oleh individu dan budaya. Jika kita menerapkan pandangan ini pada sosial media, platform ini dapat dilihat sebagai ruang modern di mana manusia mengekspresikan dirinya dan berusaha memberikan makna pada keberadaannya.
Namun, apakah sosial media benar-benar mencerminkan pengalaman manusia yang otentik, atau justru mereduksi kehidupan menjadi sekadar tampilan permukaan? Dalam artikel ini, kita akan membahas fenomena sosial media berdasarkan pandangan Wilhelm Dilthey.
Kehidupan sebagai Totalitas Pengalaman
Menurut Dilthey, kehidupan adalah totalitas pengalaman manusia yang melibatkan perasaan, pikiran, dan tindakan. Pengalaman ini tidak dapat dipahami secara terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang penuh makna. Sosial media, dalam banyak hal, menjadi wadah untuk mengekspresikan pengalaman tersebut. Dari foto-foto momen bahagia hingga curahan hati di tengah kesulitan, sosial media memungkinkan individu membagikan fragmen hidup mereka kepada orang lain.
Namun, apakah fragmen-fragmen ini mampu mewakili totalitas kehidupan? Dilthey akan berpendapat bahwa sosial media sering kali hanya menangkap permukaan pengalaman manusia. Unggahan foto atau video mungkin menunjukkan momen tertentu, tetapi sering kali gagal menyampaikan kedalaman emosi dan konteks di baliknya. Dengan kata lain, sosial media cenderung menyederhanakan kompleksitas hidup menjadi konten yang dapat dikonsumsi dengan cepat.
Ekspresi dan Pemahaman Hidup
Bagi Dilthey, ekspresi adalah cara manusia memberikan makna pada pengalamannya. Ekspresi ini bisa berupa seni, sastra, atau tindakan simbolis lainnya. Dalam konteks modern, sosial media dapat dilihat sebagai salah satu bentuk ekspresi yang memungkinkan individu berbagi makna hidupnya dengan orang lain.
Namun, apakah ekspresi di sosial media mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang hidup, ataukah hanya menciptakan kesalahpahaman? Misalnya, ketika seseorang memposting foto dirinya tersenyum di tempat wisata, audiens mungkin menganggap hidupnya sempurna. Padahal, di balik foto tersebut mungkin ada tekanan emosional atau kesulitan yang tidak terlihat. Dalam hal ini, sosial media sering kali memperkuat "pemahaman yang dangkal," yang bertentangan dengan pandangan Dilthey bahwa memahami hidup memerlukan empati dan interpretasi mendalam.
Hubungan Sosial dan Pengalaman Kolektif
Dilthey juga menekankan pentingnya pengalaman kolektif dalam memahami kehidupan. Hidup manusia tidak terpisah dari budaya dan sejarah; setiap individu adalah bagian dari jaringan sosial yang lebih besar. Sosial media, pada satu sisi, menciptakan ruang baru untuk pengalaman kolektif. Tren global, meme, atau gerakan sosial yang muncul di sosial media mencerminkan cara manusia terhubung secara budaya.
Namun, ada bahaya dalam pengalaman kolektif yang terlalu dangkal di sosial media. Alih-alih memperkaya pemahaman budaya, sering kali kita terjebak dalam polarisasi atau misinformasi. Ekspresi kolektif yang seharusnya menjadi sarana untuk memperluas pemahaman kita tentang dunia justru berubah menjadi ruang konflik atau manipulasi.