Mohon tunggu...
FirasN
FirasN Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sans

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kyai dan Politik

29 November 2019   05:45 Diperbarui: 29 November 2019   05:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiai Marzuki adalah murid Kiai karismatik Abuya Dimyati Cidahu, Pandeglang, Banten. Sebagai alumni Pesantren Cidahu, belakangan ia merasa kurang "sreg" melihat salah satu putra kiainya mondar mandir keluar masuk istana, aktif dalam partai politik, sekaligus menjadi "ulama pemerintah". Kekurang sreg-an ini ia simpan di hati

Suatu malam Kiai Marzuki bermimpi mobilnya mogok di suatu tempat yang ia merasa sangat mengenal tempat itu. Sambil menunggu mobilnya diperbaiki bengkel, ia mengelilingi tempat itu yang ternyata sebuah pesantren. Ia memasuki kobong-kobong (bilik kamar) santri, mengambil air wudlu di jeding (kulah) santri dan shalat dua rakaat di mushala pesantren.

 Selesai shalat Kiai Marzuki dipanggil-panggil montir mobil dan segera menghampiri pemilik bengkel. Namun, ketika mau membayar ongkos perbaikan mobil, ia terkaget-kaget karena pemilik sekaligus montir mobilnya adalah putra kiaianya, Abuya Muhtadi. Ia memakai peci putih, rambut dan brewoknya sudah berwarna putih dan seluruh pakaiannya blepotan terkena oli.

 Kiai Marzuki terbangun. Ia terus menerus mengucap istighfar dan berkali-kali tawasul kepada Abuya Dimyati.

 "Saya kapok mensuudzani Kiyai"
 Abuya Dimyati ini memang 'landep' (tajam). Saya langsung ditegur dikasih isyarah lewat mimpi. Saya percaya anak seorang waliyullah pasti dilindungi doa ayahnya," kata Kiai Marzuki

 Sebagaimana isyarat dalam mimpi, saya yakin Abuya Muhtadi ini masuk dunia politik bukan untuk kekuasaan, popularitas, apalagi tujuan duniawiyah (materi).

 "Jangan samakan dengan kita kita yang masih muda. Orang seperti beliau memasuki pusat kekuasaan untuk membenahi dari dalam, seperti montir mobil yang diisyaratkan dalam mimpi," ujarnya

 Orang yang bekerja di dunia kotor, lanjut Kiai Marzuki, pasti akan terkena kotoran. Tapi kotoran itu tak akan sampai mengotori hati dan tubuhnya karena sejak awal niatnya sudah bersih, tulus, dan ikhlas.

 Tampaknya darah politik mengalir dari ayahnya. Di masa Orde Baru Abuya Dimyati, tutur Kiai Marzuki, pernah menjadi Jurkam partai politik (PPP). Beliau kemudian ditangkap dan dijebloskan penjara. Di penjara beliau membaca hizib dan menyebabkan seluruh sipir penjara terkena diare (mencret). Beliau akhirnya dikeluarkan. Sejak saat itu Sang Kiai mundur dari dunia politik dan memilih istiqamah di pesantren.

 Abuya Dimyati tak silau terhadap harta dan kekuasaan. Abuya istirahat dan tinggal di kobong mushalanya.
 Wakil Presiden Sutrisno dan Habibi pernah bertamu dan disuruh menunggu lantaran Sang Kiai sedang mengaji. Gus Dur adalah salah satu muridnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun