Di tengah gemuruh pabrik-pabrik baja yang terus-menerus mengasap di Cilegon, ada sebuah drama nyata yang mengundang tanda tanya besar. Bayangkan, sebanyak 5.189 guru madrasah harus gigit jari karena honor yang seharusnya mereka terima, tak kunjung cair.
Ironi di kota yang katanya menjanjikan kemakmuran ini, justru mereka yang berjasa mendidik anak bangsa harus hidup dalam ketidakpastian. Apakah ini episode baru dari serial telenovela birokrasi?
Para Guru: Pahlawan Pendidikan yang Terlupakan
Guru madrasah bukan hanya mengajarkan ilmu agama, mereka juga membentuk karakter dan moral anak-anak kita. Namun, penghargaan atas jasa mereka seakan hilang diterpa angin.
Sudah gaji kecil, honor pun macet. Seolah-olah nasib mereka tidak lebih penting dibandingkan produksi baja yang terus mengasap di kota ini. Memangnya, hati nurani pejabat ke mana?
Bayangkan saja betapa sulitnya bagi seorang guru yang setiap hari harus berhadapan dengan murid-murid mereka dengan senyum, sementara di balik senyum itu ada kekhawatiran besar tentang kebutuhan hidup yang tak terpenuhi.
Mereka bangun pagi-pagi, mempersiapkan materi pelajaran, dan berusaha memberikan yang terbaik untuk para muridnya, meskipun mereka sendiri harus mengorbankan banyak hal.
Birokrasi Berbelit: Dalang di Balik Ketidakadilan
Cerita tentang honor yang tak cair ini selalu berujung pada satu kata: birokrasi.
Setiap bulan, para guru harus berhadapan dengan tumpukan dokumen dan prosedur yang bikin kepala pening.