Mohon tunggu...
Firasat Nikmatullah
Firasat Nikmatullah Mohon Tunggu... Editor - @sekjend.kafir

Aku adalah apa yang kamu pikirkan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Partisipasi Rendah: Hukuman Masyarakat untuk Parpol di Pilkada Serentak 2024?

2 Desember 2024   21:05 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:19 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang warga negara Indonesia yang telah berpartisipasi dalam Pilkada Serentak 2024. [Foto: Instagram/Luna Maya]

Halo-halo, para pencari berita dan drama politik di Indonesia!

Kali ini kita bakal ngupas tuntas topik yang masih hangat-hangatnya di Indonesia. Yups, rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada Serentak 2024.

Apakah ini bentuk hukuman dari masyarakat untuk partai politik (parpol)? Yuk, kita bahas lebih dalam sambil ngopi dan ngemil pisang goreng!

Jadi ceritanya, Pilkada Serentak 2024 baru aja kelar. Tapi, ada yang bikin kening kita berkerut. Partisipasi pemilih ternyata rendah banget, bahkan di bawah 70 persen secara nasional.

Di DKI Jakarta, partisipasi cuma 57,6 persen, dan di Sumatera Utara lebih parah lagi, cuma 55,6 persen. Ini jelas jadi alarm demokrasi buat kita semua.

Ketua DPP PDI-P, Deddy Sitorus, bilang kalau rendahnya partisipasi ini adalah bentuk hukuman dari masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu dan kandidat yang diusung parpol.

Menurutnya, banyak pemilih yang merasa kandidat yang ada nggak sesuai dengan keinginan publik, tapi lebih ke hasrat elite politik. Jadi, masyarakat memilih untuk golput sebagai bentuk protes.

Deddy juga bilang,

"Rakyat sekarang udah pinter, mereka nggak mau dibohongin lagi. Makanya banyak yang males milih karena nggak ada calon yang bener-bener bisa dipercaya."

Weh, mantap betul, rakyat kita sekarang!

Selain itu, karakteristik pemilih di Pilkada 2024 didominasi oleh kalangan muda dan pemula yang lebih kritis.

Mereka lebih cermat melihat rekam jejak para calon dan sengkarut pelaksanaan Pilkada, sehingga nggak termotivasi untuk menggunakan hak suaranya.

Ada juga yang merasa nggak yakin kandidatnya bisa menang karena ada campur tangan penguasa. Terus, ada lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi rendahnya partisipasi ini.

Beberapa orang ngerasa kalau jadwal Pilkada yang deketan dengan Pilpres bikin mereka capek duluan.

Bayangin, habis milih presiden, nggak lama lagi harus milih gubernur. Kan capek ya? Ibarat kata, habis nyetir jauh-jauh, tau-tau ada polisi tidur yang bikin kesel.

Efek Domino di Dunia Politik

Rendahnya partisipasi pemilih ini jelas bukan sekadar angka di atas kertas. Kalau terus dibiarkan, ini bisa memicu efek domino di dunia politik Indonesia.

Pertama, legitimasi pemimpin yang terpilih bisa dipertanyakan. Kalau partisipasi rendah, apakah pemimpin tersebut benar-benar mewakili suara rakyat? Ini jadi tanda tanya besar.

Di sisi lain, rendahnya partisipasi juga bisa bikin parpol introspeksi. Mereka harus lebih serius dalam mengusung kandidat yang benar-benar bisa diterima masyarakat.

Jangan cuma mikirin kepentingan elite politik aja, tapi juga dengarkan suara rakyat yang kadang lebih bijak daripada para politikus itu sendiri.

Bayangin aja, kalau terus-terusan kayak gini, bisa-bisa orang makin apatis sama politik.

Gimana masa depan bangsa kalau rakyatnya makin nggak peduli? Hayo, para parpol, ini PR besar buat kalian!

Pandangan Masyarakat

Kalau kita tanya ke masyarakat, pasti pendapatnya beda-beda. Ada yang merasa pemilu sekarang ini cuma formalitas aja, nggak ada perubahan signifikan yang dirasakan.

Mereka bilang,

"Ngapain milih, toh hasilnya sama aja. Janji-janji tinggal janji, yang dipilih malah janjiin janji baru." 

Tapi, ada juga yang merasa kecewa dengan kandidat yang diusung parpol. Mereka bilang,

"Nggak ada yang bener-bener mewakili kita. Cuma rebutan kursi doang."

Di sisi lain, ada juga yang merasa kalau politik itu udah kayak sinetron nggak habis-habis. Drama mulu, tapi plot twist-nya tetep ketebak.

Mereka bilang,

"Aduh, males ah. Ngapain nonton sinetron, mendingan maraton drama Korea yang jelas happy ending."

Terus, ada juga yang merasa kalau pemilu itu cuma buang-buang waktu dan tenaga. Mereka lebih milih fokus ke kerjaan atau urusan pribadi yang lebih jelas hasilnya.

Mereka bilang,

"Mending kerja beneran dapet duit, daripada buang-buang waktu buat milih yang nggak jelas hasilnya."

Saran untuk Parpol

Kalau saya boleh kasih saran, mending parpol lebih serius dalam mendengarkan aspirasi masyarakat deh.

Jangan cuma mikirin kepentingan sendiri, tapi juga pikirin bagaimana caranya biar masyarakat merasa terwakili dan nggak males lagi buat milih.

Pertama, pilihlah kandidat yang bener-bener punya integritas dan track record yang baik. Bukan cuma popularitas aja, tapi juga komitmen buat memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kedua, jangan cuma turun ke masyarakat pas mau pemilu aja. Terus terlibat dan berkomunikasi dengan masyarakat, biar mereka merasa dihargai dan didengarkan.

Ketiga, transparansi dalam setiap proses politik itu penting. Jangan ada main belakang atau politik uang yang bisa merusak kepercayaan masyarakat.

Jadilah parpol yang bersih dan jujur, biar rakyat nggak merasa dikhianati. Rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024 ini jelas jadi alarm buat kita semua.

Parpol harus lebih serius dalam mengusung kandidat yang benar-benar bisa diterima masyarakat. Transparansi dan partisipasi masyarakat juga harus tetap dijaga.

Gimana menurut kalian, apakah ini bentuk hukuman dari masyarakat untuk parpol?

Yah, itulah drama politik kita kali ini. Apapun yang terjadi, kita semua berharap sistem politik di Indonesia bisa makin baik dan transparan.

Ingat, tetaplah kritis dan selalu perhatikan situasi, kondisi dan perkembangan di sekitar kita, karena masa depan bangsa ada di tangan kita semua.

Penulis: Firasat Nikmatullah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun