Mohon tunggu...
Fira Annisa Sabrina
Fira Annisa Sabrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta

Memiliki ketertarikan sangat tinggi terhadap isu-isu sosial, politik, kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gen Z Mendobrak Stereotip Indonesia Sebagai Fatherless Country

18 November 2023   17:07 Diperbarui: 18 November 2023   17:09 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keluarga Indonesia seorang ayah digambarkan "ada tapi tiada" yaitu tidak adanya keikutsertaan mendidik anak-anaknya saat di rumah, tidak adanya hubungan emosional yang terbangun antara ayah dan anak karena kurangnya interaksi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak menyebutkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara dengan fatherless atau father hunger dalam pengasuhan anak, yaitu tidak adanya peran ayah karena hanya hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam urusan perkembangan anak. Bahkan Psikolog asal Indonesia, Elly Risman, dari tahun 2008-2010 telah melakukan studi di 33 provinsi di Indonesia dan menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara paling 'yatim' di dunia.

Padahal, faktanya sudah sangat jelas kebijakan Indonesia dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan dalam Pasal 14 ayat 1 dijelaskan setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri. Orang tua terdiri dari ayah dan ibu, artinya kedua orang tersebut ikut andil dalam mengasuh anak.

Tidak ada aturan mengurus anak hanya dilimpahkan kepada ibu saja. Hal tersebut bermula disebabkan oleh budaya patriarki. Sebagian besar budaya Indonesia masih mempercayai bahwa segala urusan rumah tangga dan mengurus anak adalah kewajiban seorang perempuan dan laki-laki hanya bertugas menafkahi keluarga. Stereotif ini harus segera dihapuskan karena menjadi cikal bakal keluarga di Indonesia kehilangan peran ayah dalam mendidik anaknya.

Di sinilah Gen Z mengawali perubahan dari isu sosial ini. Gen Z cenderung lebih terbuka terhadap perubahan sosial dan memainkan peran dalam mengubah norma-norma tradisional. Dengan adanya aksesibilitas informasi dan kesadaran sosial yang tinggi, Generasi Z dapat berperan dalam mengatasi stigma yang terkait dengan anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah.

Generasi Z, yang dikenal sebagai generasi jaringan atau internet, adalah generasi kerja terbaru, yang lahir antara 1995 dan 2012. Generasi Z lebih banyak menguasai teknologi, berpikiran lebih terbuka, dan tidak terlalu memerhatikan standar yang ada. Pemikiran mereka akan menjadi kekuatan yang mampu mengatasi stigma fatherless di Indonesia, khususnya pada kaum laki-laki yang semakin memperhatikan pola pengasuhan anak dengan bijak. Tanpa ragu, setelah pulang dari pekerjaan, mereka dengan sigap saling bergantian menggendong bayi, tanpa merasa malu untuk menunjukkan keberanian merawat anak di depan publik. Mereka tidak segan-segan menyuapi anak ketika ibunya sibuk dengan tugas lain. Kesadaran telah menyelimuti pikiran mereka bahwa tidak ada pembagian tugas yang kaku dalam merawat anak, semuanya turut serta berperan meskipun keduanya memiliki kesibukan masing-masing.

Hal tersebut dapat dilihat dari Jurnal Partisipasi Ayah Dalam Pengasuhan Dengan Perkembangan Anak Usia 12 -- 24 Bulan oleh Niki astria, dkk yang diterbitkan tahun 2023. Hasil penelitian menunjukkan Partisipasi ayah dalam pengasuhan anak mayoritas baik yakni 56,1%, Perkembangan anak usia 12-24 bulan 87,9% berada pada kategori normal dan Adanya hubungan yang bermakna antara partisipasi ayah dalam pengasuhan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Artinya, di zaman yang semakin maju ini ada peningkatan persentase yang baik dalam keikutsertaan peran ayah dalam mengasuh anak-anaknya dibanding beberapa tahun kebelakang.

Namun, penting untuk mencari solusi untuk meningkatkan peran ayah di Indonesia. Diantaranya, masyarakat perlu lebih memahami dan menghargai kontribusi ayah dalam membentuk keluarga yang sehat. Kampanye-kampanye kesadaran dan edukasi dapat membantu mengubah persepsi dan norma yang sudah ada.

Dengan mengatasi kurangnya peran ayah di Indonesia, kita dapat membangun masyarakat yang lebih seimbang, di mana setiap anggota keluarga memiliki kontribusi yang berarti dan mampu membentuk generasi penerus yang kuat dan berdaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun