Istilah Kyai secara etnografis merupakan istilah lokal untuk masyarakat jawa, sementara penyebutan kiai di daerah lain mempunyai istilah yang berbeda-beda, misalnya ajengan untuk masyarakat sunda, bendere untuk masyarakat Madura, buya untuk masyarakat sumatera barat, topantira untuk masyarakat Sulawesi selatan.
Posisi kyai di kalangan masyarakat tidak hanya sebagai orang yang menguasai dan komitmen dengan keilmuan keislaman disertai ciri kharismatiknya (elite agama). Disisi lain, kyai sendiri selalu berorientasi pada upaya mensejahterakan umatnya paling tidak dari sisi pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Akhir-akhir ini kyai seringkali dijadikan bahan perbincangan para pengamat dan masyarakat, menyangkut layak tidaknya mereka terjun dalam politik praktis. Karena itu, penulis akan menjelaskan pro/kontra keterlibatan seorang kyai dalam berpolitik
Setuju berpolitik
1. Berpolitik bagian dari kehidupan agama, sumber ajaran agama islam sendiri memiliki lingkup tidak hanya pada aspek ritual dan bimbingan moral, tetapi juga pada nilai-nilai di semua sisi kehidupan baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, hukum, sosial maupun persoalan politik.
2. Dalam kacamata sejarah menurut (M dawam Rahardjo) bahwa pada zaman kerajaan islam di jawa secara tidak resmi diadakan pemisahan antara urusan negara yang dipegang oleh para sultan dan urusan agama yang dipegang oleh kyai. Namun karena banyak masalah sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari keberagamaan peran kyai sangat diperlukan pada saat itu. Â Begitu juga menurut (Dirdjosanjoto, 2013:17-18) sejak jaman kesultanan Mataram II di jawa para kyai membentuk diplomasi untuk mengusir para penjajah dan bahkan bisa terlihat pasca proklamasi para kyai mulai merintis dan mengembangkan organisasi politik islam di tanah air seperti Masyumi, MIAI, PSII, Perti dll. Akibatnya dalam sejarah perjuangan bangsa, kyai dapat dipahami sebagai pusat kekuatan sosial politik yang perannya tidak bisa diabaikan dalam sejarah republik ini sebagai pahlawan nasional.
3. Kyai sebagai elite agama memiliki pengikut (jamaah) dan pengaruh yang luas di kalangan masyarakat sehingga diperlukan keterlibatan dalam persoalan pengambilan keputusan bersama, karismatik kepemimpinan dan persoalan - persoalan kemasyarakatan.
Tidak Setuju berpolitik
Kyai seharusnya berperan saja sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan beragama dan karena itu lebih tepat jika dihindarkan diri dengan kegiatan politik.Â
Fenomena peran politik kyai itu ternyata memunculkan polemik yang berkepanjangan. Tak kurang polemik itu menyulut kontroversi dikalangan elite agama termasuk kalangan kyai itu sendiri. Misalnya K.H. Mahrus Ali menentang kyai NU terjun kedunia politik karena kyai sibuk mengurusi urusan politik mengakibatkan garap NU yang luas terbengkalai. Namun pandangan kyai machrus ali ini berlawanan dengan K.H. Mahbub junaidi bahwa politik merupakan sisi penting dari kegiatan NU, karena lahirnya NU sendiri merupakan perbuatan politik. Beruntung perbedaan pandangan di kalangan kyai itu secara formal memperoleh titik temu dengan sebuah jawaban melalui Munas NU di situbondo tahun 1984 yang menyatakan bahwa NU kembali ke khittah 1926. Namun sebenarnya polemik tentang kyai NU turun atau tidak ke dalam kancah politik praktis belumlah berakhir. Karena makna khittah itu sendiri melahirkan banyak interpretasi dari kalangan kyai, terbukti banyak kyai yang masih terlibat dalam politik dan mengartikan semangat khittah dalam bingkai politikÂ
Lantas pandangan kalian apakah setuju atau tidak kyai terjun dalam dunia politik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H