Mohon tunggu...
Ilma Amalia
Ilma Amalia Mohon Tunggu... Human Resources - Human Resource Development

Learner | An HR | Fakultas Sains Kognitif dan Pembangunan Manusia | University Malaysia Sarawak | blog pribadi: fiqrah-amalia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Love-Hate Relationship", antara Indonesia dan Malaysia

18 September 2018   05:41 Diperbarui: 19 September 2018   10:51 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DOK. Konfrontasi.com

Kecanggihan teknologi masa kini sudah dirasakan mayoritas orang. Masing masing orang punya gadget. Menurut statistik tahun 2017, 142% populasi Indonesia terdaftar memiliki telepon seluler. Dan diperkirakan akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kenapa bisa lebih? Karena sebagian orang juga memiliki telepon seluler lebih dari satu.

Dan hampir semua yang memiliki telepon seluler -atau yang sekarang lebih akrab disebut gadget- juga mempunyai akun media sosial. Informasi maupun memberikan tanggapan terhadap suatu hal dalam genggaman tangan.

Tapi apa yang sering terjadi di media sosial? Coba anda pantau saja kolom komentar beberapa akun media, atau berita. Apakah selalu aman tentram dan sentosa? Big NO, pertikaian, sindir-sindiran, perdebatan itu justru terasa amat familiar. Jangankan antar individu, atau komunitas dan golongan. Melainkan juga antar negara.

Baik kali ini saya hanya spesifik membahas lingkup bilateral antara Indonesia-Malaysia.

Karena saya masih berstatus mahasiswi di salah satu universitas negeri di Malaysia, begitupun saya masih seorang anak negeri berbangsa Indonesia. Mari sedikit saya ceritakan hal-hal yang membuat saya agak "gemes".

Karena akun akun yang saya ikuti bukan hanya dari dalam negeri saja, beberapa saya juga ikuti akun dari luar untuk update informasi. Sedikit banyak juga berasal dari negeri seberang, dan tentu saja saya memiliki teman 1 kampus yang merupakan orang asal Malaysia. Begitupun beberapa akun olahraga internasional, sosial dan budaya. Bahkan update berita-berita politik dari negara tetangga seringkali juga saya baca.

Tapi sisi menggelitik yang sering saya temukan adalah, jika ada kesamaan antara Indonesia-Malaysia entah itu berkaitan dengan olahraga, sosial budaya, kuliner bahkan lelucon sekalipun. Ada saja yang membuat komentar komentar nyelekit di akun akun fanspage atau channel official.

Saya tidak membela salah satu, karena keduanya sama saja. Entah dari Indonesia yang sering berkomentar kasar, pun netizen dari negeri seberang juga kerap berkomentar sarkas.

Sebutlah berapa kali masalah copyright beberapa karya seni. Itu menjadi bahan sensitif untuk dibicarakan, ada saja yang tersulut dan saling claim. Dan yang akhir-akhir ini topik tentang Pencak Silat. menjadikan kedua kubu netizen kadang perang kata-kata dalam sosial media.

Jujur saja bung, dulu saat saya masih bocah dan 'bodoh-bodohnya', tidak terpikir sama sekali untuk menuntut ilmu di sana, saya juga getol nyinyir dengan negeri jiran. 

"Ini-itu kok sama, seni di Indonesia kok yang di sana ngaku-ngaku.." (maklum, masih bodoh). Well, baru open minded saat bertemu mata kuliah yang membahas tentang kebudayaann Malaysia. Betapa banyak sebenarnya kita berbagi sejarah dengan Malaysia.

Jelas efek meluas pada sosial budaya kita. Saking dekatnya. Nama makanan sama, bahasa nyaris sama dan banyak lagi. Namun kalau di telaah sekali lagi, sebenarnya kita tidak benar-benar sama. Kalau anda pernah merasakan beberapa makanan di Malaysia, contohlah rendang. Bahan dasarnya mungkin sama yaitu daging. tapi dalam segi rasa? Ho.. beda bung dan saya juga pernah menonton acara masak-masak di channel Nat-Geo yang sedang berkunjung ke Malaysia. Ternyata rempah dan bumbunya tak sama.

Haruskah Indonesia claim rendang tersebut? Oh, saya rasa tidak perlu. Karena cita rasa Indonesia juga sudah punya karakter sendiri, begitupun Malaysia. Lantas sebegitu salahkah berbagi nama kuliner 'rendang'?

Saya juga kaget pada awalnya saat masih baru d isana, karena memesan nasi goreng dan diberi kuah. "What for?" Pikir saya nasi goreng hanya makanan kering. Tidak mungkin saya curahkan kuahnya ke piring.

Oh tapi ternyata beginilah cara atau standar penyajian di Malaysia. Kuah disediakan terpisah supaya konsumen tidak seret. Sungguh kalaupun cita rasa Malaysia-Indonesia benar benar sama, tentu saya-dan juga teman teman saya sesama perantau tidak perlu uring-uringan karena rindu makanan Indonesia.

Oke coba ganti, misalnya lagu. Selama saya di Malaysia, saya kerap mendengar lagu-lagu Indonesia diputar di radio Malaysia. Kenapa? Tidak ada masalah sebenarnya, karena melodinya memang mengena apalagi lafal lagu Indonesia amat dekat dengan negara seberang. Menurut saya itu wajar-wajar saja. Toh Indonesia juga sering memutar lagu asal Barat dan lainnya.

Komentar nyinyir netizen antar negara ini boleh jadi disebabkan kurangnya pengetahuan tentang negara tetangga. Sabda pepatah "tak kenal maka tak sayang". Pun saya semenjak lebih dalam mempelajari keadaan sosial-budaya disana secara langsung, jadi lebih anteng. Karena teringat saya memiliki guru, teman yang amat baik dan ramah selama saya disana. Bahkan saya anggap seperti keluarga. 

Jika ada permasalahan yang menyangkut subjek pun tentu tidak akan menyurutkan respek saya pada negeri jiran. Sebut saja itu oknum, tidak perlu kebanyakan majas Sinekdoke Totem Pro Parte, alias "pukul rata" dalam menilai 1-2 orang lantas mengatakan semuanya sama. Dengan penilaian dan kata kata yang buruk pula.

Saya tidak tau kenapa, andai yang bertanding adalah Indonesia-Malaysia selalu saja lebih tendensius. Dibanding dengan Indonesia melawan negara lain --yang padahal juga sesama negara ASEAN- atau tetangga terdekat.

Persis saudara kandung yang bertengkar karena memperebutkan hal yang sama. Tapi paham dong bagaimana kalau saudara sendiri dapat ancaman dari luar?

Yup akan lebih cepat membela satu sama lain..

Kalau kata bang Tere Liye "Kita memang 'selalu' bertengkar dengan orang yang kita sayangi. Adik bertengkar dengan kakaknya. Anak bertengkar dengan orangtuanya. Istri bertengkar dengan suaminya. Sahabat bertengkar dengan sahabatnya. Tentu saja. karena kita tidak mungkin bertengkar dengan orang yang tidak kita kenal, dan jelas tidak kita sayang. :) "

Masih Nyinyir? Mungkin teman kita kurang ramai, jalan-jalan kurang jauh, atau pengetahuan kurang luas.. ^-^v peace

18 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun