Saya masih teringat disaat teman-teman kerja saya bersiap-siap untuk berangkat ke kampus, tentu mereka setelah menyelesaikan pekerjaan langsung pamit untuk mengikuti perkuliahan. Perlakuan pimpinan kepada mereka pun sangat hangat dan excited, mungkin karena mereka seorang mahasiswa dan menjadi kebanggaan pimpinan dan kedua orangtuanya. Tentu perlakuan itu tidak saya dapati ditempat saya bekerja, bisa jadi, karena saya dianggap sebelah mata oleh mereka.
Saya sendiri hanya bisa terdiam, melihat mereka dengan rasa iri yang mendalam. Dua tahun lamanya, saya merasa seperti terjebak dalam kebuntuan, tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mencapai impian saya. Perasaan itu tidak mungkin saya ceritakan kepada teman atau orang disekitar saya. Simpan dalam hati, berharap keajaiban datang, itulah yang ada di benak saya saat itu.
Setiap pendaftaran baru dibuka diberbagai kampus, saya hanya bisa melihat brosur tanpa mendaftarkan diri saya. Ya, tentu saya mendatangi kampus secara diam-diam, karena saya juga insecure kalau ada yang tau saya ingin mendaftar. Padahal saya hanya ingin tau berapa SPP-nya meskipun sadar diri belum bisa mendaftar pada saat itu juga.
Setelah saya berkeliling dan mencari, tidak ada kampus yang pada saat itu cocok dengan keuangan saya. Gaji yang kudapatkan hanya 1,6 juta, kebetulan saya masih memiliki angsuran motor 845 ribu sebulan. Sisanya kuberikan kepada orangtua. Mungkin setiap gajian saya hanya ambil 50 ribu untuk kebutuhan sehari-hari. Alhamdulillah makan dapat dari tempat bekerja.
Namun, peluang mulai bermunculan ketika saya memiliki banyak teman diluar teman pekerjaan saya, tentu mereka motivasi dan menyarankan saya untuk kuliah, betapa bahagianya saya ketika ada seseorang yang mengatakan itu kepada saya. Berbeda hal yang kurasakan ditempat kerja saya sendiri, tidak ada yang memotivasi saya untuk bisa berkuliah, seakan-akan saya tidak pantas menjadi seorang mahasiswa. Mungkin karena saya bukan keluarga yang berkecukupan dimata mereka dan hanya mereka yang harus pintar. Itulah suudzon saya pada saat itu.
"Ucil kuliah sana, biar jadi orang" ayo Ucil bisa" ungkapan itu disampaikan oleh beberapa wartawan senior yang ada di Kota Bekasi, tentu menjadi spirit bagi saya dan tidak menyerah dengan keadaan.
Berjalannya waktu, saya mengalami fase dimana saya frustasi, sehingga saya memutuskan tinggal dikontrakkan untuk melupakan keinginan saya menjadi seorang mahasiswa, ditambah orang tua tidak membantu saya samasekali, iya, saya sadar diri, beliau untuk makan sehari-hari saja masih kurang, bagaimana bisa membantu saya untuk biaya masuk kuliah. Keadaan itu yang membuat saya putus asa, ini menyadari saya bahwa saya tidak bisa mengejar mimpi saya. Saya menyalahkan diri saya karena terlahir keadaan miskin.
Bagaimana tidak, ternyata syarat mendaftar menjadi mahasiswa itu harus memiliki ijazah SMK, sedangkan ijazah saya masih ditahan karena masih ada tunggakan yang harus dilunasi. Tentu saya harus terlebih fokus dulu untuk melunasi. Yah.. semakin lama lagi deh menunggu. Ucapan dalam hati yang meneteskan air mata saat mengendarai motor. "Ya sudahlah, gak usah kuliah"ujar dalam benak saya.
Saya akhirnya bercerita kepada teman saya yang kebetulan jauh lebih dewasa secara umur, ucapan itu tidak saya pernah lupakan, ia bilang begini, "cil kita tidak tau skenario tuhan seperti apa" kalau memang Ucil ditakdirkan bisa berkuliah pasti kuliah" hatipun menjadi tenang saat ia menasehati saya seperti itu.
Ternyata curhatan saya beredar di berbagai media online. 5 menit berita itu tersebar, saya mendapati telepon dari orang nomor satu di Kota Bekasi, ia benar, itu bapak Wali Kota Bekasi. Saya bergegas disuruh ke ruangannya untuk menceritakan apa yang sudah saya alami.Â
Setelah beberapa hari kemudian, ijazah SMK saya sudah ditangan Wali Kota, ternyata beliau memerintahkan Kepala Sekolah SMK saya untuk memberikan ijazahnya. Pada saat itu, saya gembira sekali, masih ada harapan untuk bisa kuliah, karena salah satu syarat kuliah sudah saya miliki.