Mohon tunggu...
Fiqih P
Fiqih P Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Semarakkan literasi negeri

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seka

11 Februari 2018   23:32 Diperbarui: 11 Februari 2018   23:48 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi air mata. www.kompas.com

"Seka air matamu, sebentar lagi ibu datang," ucap Sahdan dengan nada tinggi, usai menampar pipi istrinya. Trisna takut, langsung dilakukan perintah suaminya itu. Hanya masalah mengundang orangtuanya menginap semalam di rumah, Sahdan menggampar Trisna.

"Sekali ini saja mas, mereka menginap di rumah. Hanya setahun sekali aku bertemu mereka,"

"...tidak," jawab Sahdan membentak "Harusnya kau berkonsultasi dulu padaku, sebelum mengundang orangtuamu."

"Mengapa hanya orangtuamu saja yang boleh mas," Trisna mendesak dan menantang. Pada kalimat itulah tamparan jatuh padanya.

"Aku benci ayahmu disini," kata Sahdan.

"Astaghfirullah masss, itu mertuamu, orangtuamu juga."

"arrkkhhh, sudahlah. Ini yang terakhir dan hanya malam ini. Kau ingat itu," seru Sahdan pada istrinya.

Kedatangan orangtua Trisna pun tak lama usai penggamparan itu. Dua pasangan tua telah berdiri di depan rumah mereka. Ayah Trisna, meski tua namun masih gagah dengan pembawaan tegas ala militer.

Tetap saja Sahdan mencium kedua tangan mereka.

"Apa yang kau lakukan pada anakku?" tanya ayahnya yang baru saja duduk di ruang tamu. Trisna terkaget, padahal dia telah menyeka air mata dan menyembunyikan bekas kekerasan yang baru saja dialaminya.

"...ehmm tidak ada -Yah-," jawab Sahdan.

"Kau mau berbohong padaku. Menantu laknat. Aku masih melihat memar di bawah matanya. Kuperkirakan itu baru saja terjadi," jawab ayahnya.

"Tidak ayah."

"...Diam kau Trisna, jangan lagi kau membela suamimu ini."

"Sudah... sudah ada apa ini?" tanya ibu yang bingung.

"Ampun -Yah-, ampun," Sahdan mengemis bersujud di kaki mertuanya.

"Kemas barang-barangmu, kau ikut pulang dengan kami Tris," pinta sang ayah pada Trisna.

"Tidak -Yah-, aku mencintai mas Sahdan."

"Ayo, kamu ikut," ayahnya menarik dan memaksa Trisna. Sahdan tak melawan, hanya terkulai lemas seperti tahu apa yang bakal terjadi.

Kini Sahdan sendiri, hanya bisa menangis. Tak berapa lama puluhan orang datang menggeledah rumahnya.

Dalam perjalanan, Ayah Trisna menjelaskan keterlibatan Sahdan dalam kasus korupsi besar.

Ayah Trisna yang merupakan Ketua Komisi Antirasuah menjelaskan bahwa, sudah jauh hari dia memperingatkan Sahdan. "Namun, beberapa Minggu lalu suamimu malah melawan ayah. Dengan hebatnya dia mengatakan tidak takut pada kami," jelas ayah Trisna padanya.

Trisna hanya bisa menangis di pundak ibunya dalam perjalanan tersebut. Air matanya diseka, namun tetap jatuh lantaran harus berpisah dengan suaminya. Sesampai di rumah orangtuanya, Trisna disambut  dengan siaran-siaran berita tentang penangkapan Sahdan.

Sei Rampah 11/2/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun