Mohon tunggu...
Fiqih P
Fiqih P Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Semarakkan literasi negeri

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menafikan Semesta

1 Januari 2018   14:20 Diperbarui: 3 Januari 2018   05:23 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Semesta: Nuqtoh.com

Semesta takkan pernah menjawab pertanyaannya. Baginya semesta merupakan lambang kebodohan. Aku dianggapnya sedikit lebih cerdas ketimbang semesta. Ia memberikan pertanyaan pada semesta tentang keberadaan orang-orang marginal. Baginya semesta tak akan mampu menjawab tanya dari dia.

"Selama orang-orang miskin, anak terlantar, orang-orang cacat masih tampak di mataku, aku menafikan keberadaan semesta," kalimat yang sering kali diucapnya.

Aku selalu bersamanya. Dirinya merupakan sosok yang sangat berbakat dalam hal-hal filosofis. Tingkahnya tak mudah ditebak. Terkadang, setiap pagi aku berjalan sendiri mencarinya. Ternyata tanpa sepengetahuanku, ia sudah berada di belakangku.  Dia selalu memberikan pertolongan pada orang-orang susah. Aku tertarik padanya, aku memutuskan menjadi muridnya.

Tapi itulah dia. Dia tak menganggapku murid melainkan temannya. Kehidupan asmaranya juga sangat sulit kutebak. Terkadang, pada lawan jenis yang bagiku cukup menarik, tapi dia tak memperhatikan. Namun, dia sangat mencintai Lily. Perempuan buta penjual bunga kertas di sudut pasar kota.

Angelica, perempuan sempurna dengan kebaikan hati dan ketulusannya. Entah kenapa tak mengena dihatinya. Kami sering berjalan berdua, menyusuri jalanan kota. Hanya untuk membantu setiap orang-orang susah di kota itu.

Tiap pagi dan petang, dia selalu memberi Lily sebungkus makanan. Kesempatan itulah ia kerap menggenggam tangan Lily. Namun, ia tak pernah mengeluarkan sepatah katapun kepada Lily. Pernah aku ingin mengatakan sesuatu pada Lily, namun dia mengisyaratkan "jangan" kepadaku.

"Kau senang dengan perempuan buta penjual bunga itu Jack?"

"Ya,"

"Lalu, kenapa kau hanya diam. Sepertinya dia juga ingin mengetahui tentangmu Jack,"

"Belum saatnya Dave," jawab Jack.

"Apakah kau sudah tahu banyak tentang perempuan itu Jack?"

"Tahukah kau, aku jauh lebih cerdas darimu."

Kalimat itu tak bisa kubantah. Jack memang sangat cerdas melebihi siapapun. Apa tujuan dan maksud setiap perbuatannya, takkan pernah kita mengerti. Menurutnya perempuan secantik Lily yang buta itu adalah bagian dari kebobrokan semesta.

"Apa semesta bisa menjawabku, ketika perempuan sesempurna Lily harus mendapatkan kekurangan pada penglihatannya," kata Jack.

Aku hanya bergumam. Tak mungkin kubantah ucapannya, hanya semakin menambah panjang perdebatan.

Pada perjalanan terakhir kami bertemu, aku dan Jack melihat sebuah pertikaian. Perang yang selalu terjadi di kota itu. Aku dan Jack melihat perempuan tewas terkena peluru mortir. Anak-anak menangis, sebagian bersimbah darah. Namun, perang tetap berkecamuk. Tanpa takut apapun, Jack berdiri di tengah-tengah perang itu dengan mengantongkan kedua lengannya.

Aku menariknya, mencari tempat yang aman. "Apa yang kau lakukan Jack, kau bisa mebahayakan dirimu,"

"Itulah semesta, yang tak pernah menghindari pertikaian, peperangan. Semesta membuat kita serakah akan dunia. Sudahkah kau melihatnya dengan jelas Dave."

"Lalu, kita harus apa Jack. Semesta sudah memang begini sejak dulu. Kita berdua tak akan mampu merubahnya," kataku meyakinkan.

"Maka, aku akan menghapus semesta dari diriku," jawab Jack.

Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Sebenarnya aku sangat merindukan sosoknya. Terlebih pesta pernikahanku sudah dekat. Entah kemana dia, tak memberiku kesempatan untuk menjadikannya sosok penting dalam pernikahanku.

Sehari sebelum pernikahanku, aku melewati tempat perempuan buta penjual bunga kertas. Lily, ada yang beda darinya. Saat kedatanganku, aku merasakan dia seperti melihatku dengan jelas. Matanya sangat mirip dengan mata Jack.

"Kau melihatku nona?"

"Ya, aku melihatmu dengan jelas. Kenapa tuan?"

"Bagaimana kau bisa melihat, bukankah dulu kau buta nona?"

"Aku tak mengenal siapa yang memberiku mata. Aku menyebutnya matahari. Hingga kini aku tak tahu siapa itu. Namun, aku bersyukur. Berkatnya aku bisa melihat semesta," tutur Lily padaku.

"Apakah kau tahu pemilik mata ini tuan?"

"Ya. Mataharimu telah menafikan semesta nona."



Tebing Tinggi Deli 1/1/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun