Hembusan angin malam waktu itu menusuk tulang. Dengan lesu bercampur sedih. Dengan amarah bercampur sesal, kuantar ia kembali pada orangtuanya. Â Itu pintanya.
Tak lagi ia tahan mengecap nasi berlauk garam. Tidur hanya beralas kain pada papan. Itupun tanpa cahaya. 13 tahun lalu, ia meminta itu. Meninggalkanku pada kesendirian. Di sepedamotor itu terakhir kali aku melihatnya dari kaca spion.
"Berfikirlah dua kali ne." Ine aku memanggilnya untuk sebutan ibu.
"Tidak, aku sudah tidak tahan hidup denganmu," jawabnya.
" Aku berjanji akan membahagiakanmu. Aku akan bekerja keras," kataku padanya. Tapi ia tak bergeming. Tekadnya sudah bulat berpisah denganku.
" Tidak.... aku tak mau lagi. Mengertilah padaku. Aku tak tahan hidup melarat."
Segala bujuk rayu dan janji manis sudah kusampaikan. Namun, kesetiaannya tak lagi di dapat, ditambah orangtuanya tak lagi mengucapkan sepatah dua patah kata padaku saat menyambutnya di depan rumah. Bantingan pintu adalah isyarat menyuruhku agar cepat pergi.
Aku mencintainya. Setahun sebelumnya dia juga begitu. Tapi akhir-akhir ini kesetiaannya semakin berkurang, semenjak kakaknya sering bertandang ke rumah kami.
Aku pulang bersama angin malam yang mendinginkan hati. Membuatku menangis sendiri dari perjalanan pulang hingga di rumah meratapi kegagalan bahtera rumah tangga kami.
***
Pagi hari aku berinisiatif menjemputnya kembali. Aku berupaya merayunya. Tapi dalam perjalanan aku terhambat oleh guncangan besar yang membuatku terjatuh saat mengendarai roda dua.
"Allahu Akbar.... Lailahaillallah Muhammadarrasulullah," ucapku berulang-ulang saat terjatuh dan masih merasakan getaran dahsyat waktu itu. Aku terluka parah
Meski bumi tak lagi berguncang, tetap saja aku sulit melanjutkan perjalanan.
"Air naik, air naik," orang-orang berlarian. Aku berfikir ini adalah air bah. Tapi jarak tempatku saat itu sangat jauh dari laut. Namun dalam fikiranku adalah Ine. Rumahnya sangat dekat dengan laut.
Aku bergegas kembali melanjutkan perjalanan menahan rasa sakit. Tapi nyatanya, air berkubik-kubik menghentikanku. Tampak dari kejauhan, tak mungkin bisa kutembus. Hanya deru angin dan langit yang mulai menghitam kurasa dan kutatap. Aku tak pernah lagi berjumpa dengan Ine sejak 13 tahun lalu.
Sei Rampah 25122017
Cerpen dibuat dalam memperingati Tsunami 26 Desember 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H