Kau bukanlah bayang. Kau adalah nyata. Cahaya terang di depan menjadikanmu objek gelap. Kau terduduk di tengah porakporanda. Sama gemuruh duka hati kita saat itu.
Perempuan dalam siluet. Masihkah kau bersedih akan tragedi itu. Tigabelas tahun lalu, aku berada didekatmu. Ingin memelukmu yang tengah melihat dahsyat tanganNya.
Kita sama, kehilangan keluarga inti.
"Jangan. Kumohon jangan," aku melarangmu ketika itu. Kau benar-benar frustasi, lalu kau berniat menenggak racun.
"Aku ingin menyusul mereka semua," katamu saat itu lalu kau menangis. Kemudian kau marah padaku.
"Apa urusanmu," gerammu padaku.
Dalam barak itu kita berdua. Kau mencoba menjauh, aku terus mendekatimu. "Kenapa kau terus mendekatiku?" kau bertanya padaku kesal.
Kesal karena kehilangan. Bukan karena ulahku.
Aku terbawa arus. Semua gelap kala itu. Cahaya optik dari indraku melihat siluet. Seperti bayang, kenyataannya tidak.
"Bukankah itu sudah seperti jalan tuhan mempertemukan kita," kata-kata yang selalu kuucap ketikaku mulai merayumu, saat kau mulai menerimaku.
Sungguh kita tak memiliki siapa-siapa lagi saat itu. Tapi kini kita saling memiliki bersama buah hati kita yang selalu mendengar seru dan iba kisah-kisah kita di tragedi itu.
Sei Rampah 17/12/2017
Tulisan dibuat dalam rangka memperingati Tsunami 26 Desember 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H