Mereka melintas lorong becek berdua. Terkadang langkah tertahan eratan lumpur pada kaki yang bersandal jepit. Tapi malam itu mereka tertawa jika eratan lumpur itu berulang-ulang menghambat laju mereka.
Fadli kerap mengelus-elus perut istrinya yang tinggal menunggu hari menyinari mata si jabang bayi. Uang seadanya kala itu mereka bawa untuk makan malam di warung depan. Takut si mungil kelaparan di dalam perut.
Sepiring berdua, oh mungkin bertiga jika si mungil dihitung. Tanpa rasa malu mereka menikmatinya. Nasi dengan lauk terong dan telur dadar didampingi air putih menambah rasa kenyang mereka. Bagaimana untuk makan esok?
Fadli yakin esok hari ia dapat pundi, lantaran Bang Iwan memintanya membantu menukangi sebuah rumah di lorong sebelah. Mereka bergegas pulang agar tenaga Fadli pulih untuk bekerja keras di hari esok. Canda tawa di ranjang menjadi makanan penutup mereka mengakhiri hari.
***
Pagi yang ditunggupun telah tiba. Namun mentari tak mampu mengeringkan lumpur di Lorong rumah mereka. Awan menutup surya dan harapan. Tak hanya itu tingkah laku sang awan, iapun menurunkan hujan.
"Hujan bun..." Fadli mengeluh pada istrinya.
"Iya, kita tunggu saja yah," jawab si Istri sambil mengelus perutnya.
Tapi hujan di akhir November itu tak memberi ampun pada tanah liat. Siang hingga sore air terus membasah. Hingga wajah si istri pun ikut membasah pada lapar yang sudah melewati detik demi detik.
"Lapar yah," keluh istrinya yang sudah memastikan pekerjaan dari Bang Iwan batal.
"Iya bunda, sabar ya. Nanti ayah akan keluar cari makanan,"