Kedua telapak tanganku berubah dari begitu putih menjadi merah muda. Penggaris kayu satu meter menyisakan bekas fisik yan dalam hitungan detik kembali seperti semula. Namun, sisa psikis tak pernah hilang hinggaku dewasa kini.
Bagaimana bisa, dulu aku yang duduk di kelas 3 SD mengucapkan kata-kata kotor terhadap temanku. Saat itu Bu Suliswati memmergokiku kala mengucapkan kata-kata yang tak pantas itu. Kata-kata tabu untuk anak usia 9 tahun.
"Sutris... ucapanmu itu pantang," kata Bu Sulis padaku.
Aku hanya tertunduk tak berkata apapun. Lalu sebuah jeweran di kuping menarikku ke dalam kelas. Hingga bel tanda kembali masuk kelas berbunyi aku terus berdiri di depan kelas. Bu Guru Suliswati bak Wonder Women sudah memegang penggaris kayu sepanjang satu meter.
"Tadi saat istirahar, Sutrisno teman kalian sudah mengucap kata-kata kotor."
"Ini pantang dan jangan kalian tiru," ucapnya kepada teman-temanku di kelas.
"Sebagai anak-anak yang menempuh Pendidikan, kalian harus bertutur kata sopan. Hal itu mencerminkan jiwa kita sebagai orang-orang yang terpelajar. Artinya jangan bicara asal dan sembarangan, mengerti kalian?"
"Mengerti buuuuu.....," jawab serentak oleh temanku yang sebagian terkekeh melihatku terus berdiri di depan.
"Sutrisno, buka tangan kamu," pinta Bu Sulis.
-Cetas- hingga lima kali Bu Sulis memukul tangan mungilku. Sakitnya tak seberapa, namun rasa malu terpancar dari wajahku yang ditonton oleh puluhan teman-teman kelasku. Sering Bu Sulis menggunakan penggaris kayu tersebut untuk menghukum siswanya.
AKu juga sudah berkali-kali menikmati pukulan dari kayu miliknya itu. Ketika aku tak mengerjai pekerjaan rumah, ketika tak membawa buku pelajaran matematika, ketika terlambat sekolah dan ketika mengusili hingga membuat temanku celaka.