TELAH kubuang jauh rasa itu. Rasa yang telah terpatri sembilan tahun lalu. Kufikir kenangan itu hanyalah sampah yang tak pantas dikenang. Bau busuknya tercium hingga bertahun. Tapi aku mampu menghindari setiap aroma busuk itu dalam setahun ini.
Namun sampah tak selamanya busuk. Kini sampah itu seperti telah di daur ulang. Kenangan bersamamu muncul kembali menafikan keburukan. Berusaha aku bertahan dalam keburukan-keburukan yang telah melekat, tapi sulit.
Sayang beribu kali sayang kenangan terpaksa muncul. Karena keburukan yang kualami kini lebih parah ketimbang keburukan dalam tiap kenangan itu. Kini ku menjadi pria kerdil dalam ketidakkonsistenan keputusan.
Aku telah terbaring lemah. Ku hanya berbisik dalam hati pada diri sendiri. Hanya aku dan fikiran memainkan dialog-dialog yang kutanya dan kujawab sendiri. Salahkah dirinya? Berusaha kutetap menyalahkan, tapi ku tak mampu.
***
Memori dua tahun lalu
“Sayang, maafkan aku. Itu terjadi begitu saja dan aku khilaf,” dia bersujud di kakiku mengakui kesalahannya.
Aku tak kuasa untuk memberi maaf. Bagiku tingkah wanita yang dulu adalah istriku sudah di luar batas toleransi.
“Tak pantas seorang wanita sepertimu diberikan kasih sayang,” ucapku, setelah memergokinya memadu kasih bersama seorang lelaki yang merupakan sahabat lamaku.
“Kalian berdua manusia jalang.”
Dia menangis tersedu. Berjanji ia tak mengulanginya lagi. Mengemis ia padaku dan balik memintaku agar tak berpisah darinya. Kuakui, aku hanya pulang setiap triwulan menjalani pekerjaan di luar negeri. Kepulangan terakhir itu adalah drama terpahit dalam hidupku.