Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Rindu] Produsen Rindu

8 September 2016   23:06 Diperbarui: 8 September 2016   23:13 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi (www.emaze.com)"][/caption]

"Memutuskan dan mengadili terdakwa dengan hukuman, hukuman mati dan membebankan biaya perkara sebesar lima ribu rupiah," kata hakim dilanjutkan dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Suasana di ruang persidangan heboh. Keluarga terdakwa menangis. Aktifis anti narkoba bertepuk tangan. Aktifis Hak Azasi Manusia mengejar hakim mempertanyakan tentang hukuman mati.

Seorang gembong narkoba baru saja divonis hukuman mati. Pengacara bersiap memberkaskan pengajuan banding yang diberi waktu 7 hari oleh hakim. Budi sang gembong meratapi kejadian itu. Memeluk erat istrinya. Melobi aparat untuk menambah waktu. Enam bulan sudah paska penangkapannya. Inilah keputusannya. Dipanggil lima pengacaranya.

"Terima saja keputusan itu. Jangan lagi banding," katanya. Langsung para wartawan mempertanyakan sikapnya yang tak melakukan upaya hukum banding.
"Saya sudah mengakui kesalahan, saya sudah siap mempertanggungjawabkan dosa ini di dunia," lantang dia pada para wartawan. Oleh karena itu secara lisan ia resmi menjadi narapidana.Meski vonis hakim belum dikeluarkan saat itu juga. Dibawa ia kembali ke Lembaga Pemasyarakatan. Sidang di pagi hari, keluarga masih boleh membesuknya di dalam lembaga.

***

Dikawal Sipir, ditengah pengunjung yang ramai berdua dia memadu kasih bersama istrinya yang sangat setia.

"Kenapa kau tidak mengupayakan banding. Apakah kau tak lagi merinduku, merindu kebersamaan kita?" istrinya berkata penuh harap.

"Kemungkinan itu masih ada, kenapa kita tak mengusahakannya," keluh istrinya lagi.

"Dinda, tidakkah engkau tahu
 Berapa banyak kerinduan yang telah kubuat. Aku sudah membuat banyak kerinduan. Kerinduanmu hanyalah satu dari jutaan kerinduan lainnya," kata gembong itu.

"Maksud kanda?"

"Kujual barang haram, banyak mereka yang mati overdosis, banyak mereka meninggalkan keluarga, banyak mereka yang masuk penjara. Itu ulahku, ya aku. Aku pengedar terbesar di negeri ini. Aku menguasai pasar obat-obat haram itu,"

"Akulah produsen kerinduan-kerinduan itu. Akulah orangnya dinda. Yang membuat istri bersedih. Anak menjadi yatim. Orang tua terbebani. Mereka juga merindu. Maka biarlah aku merasakan sakitnya merindu. Biarlah aku dihukum mati agar tak terlalu lama kumenahan sakit karena rindu," tuturnya.

Sang istri menangis haru dipelukannya. Erat, tangannya menjadi sebuah tali mengerat tubuh si gembong narkoba. Tak peduli ia akan keramaian. Tak takut dia akan petugas.

"Kenapa aku dan anakmu yang harus jadi korban ini semua. Kanda, kau tahu aku tak bisa hidup tanpamu,"

"Maka hiduplah dalam doamu untukku dinda. Kerinduanmu akan terobati. Aku menjadi narapidana di dunia, berharap menjadi penghuni surga nantinya. Inilah pilihanku dinda, kuharap kau tak bersedih," ucapnya haru pada istrinya.

Lonceng Lembaga Pemasyarakatan telah dibunyikan. Tanda para pembesuk narapidana dan tahanan untuk segera keluar. Mereka berpisah dan mempersiapkan diri dalam kerinduan-kerinduan yang menunggu di depan.

Sei Rampah 8/9/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun