Peran Media sebagai sarana informasi sudah menjadi hal yang sangat popular dewasa ini. Akses internet murah dan cepat serta sarana diskusi online yang kian menjamur dapat mempengaruhi ideologi dan dengan mudahnya tercerna dalam fikiran masyarakat. Era globalisasi merupakan zaman dimana informasi dan komunikasi dapat ditembus tanpa mengikat ruang dan waktu. Dalam hal ini terjadi paradoks pemanfaatan media sosial. Namun yang menjadi dilematis saat ini adalah mudahnya manusia menelan segala bentuk informasi, entah benar maupun salah.Â
Masyarakat saat ini sangat memprihatinkan, pola pikir yang mudah di dikte, pemikiran yang dogmatis, serta kritisasi dan analisasi yang semakin kendur sangat berdampak pada perpecahan dan pembagian golongan. Ironisnya kejadian ini sudah masuk ke dalam dimensi masyarakat dari kelas atas sampai kelas bawah, baik akademisi, pemangku kebijakan, sampai masyarakat biasapun terjangkit penyakit ini.
 Menurut cak nun (Emha Ainun Najib) kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Dapat kita ambil pelajaran bahwa hal ini lah yang seharusnya menjadi cambuk bahwa sangat jelas dan dapat diidentifikasi kelemahan kita sebagai manusia. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Istimewanya manusia diciptakan bukan hanya perkara nafsu namun mempunyai otak pula untuk berfikir. Organ tersebut harus selalu diasah dan diberi asupan gizi agar sehat selalu, Sehingga kita dapat membentuk benteng pertahanan dalam otak, agar tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi. Otak sebagai pusat dari segala organisasi tubuh manusia menjadi hal yang central dalam setiap olah gerak individu dalam kesehariannya.
 Pembentukan pemikiran pada dasarnya lahir dari lingkungan. Menurut aristoteles secara alamiah kita dapat membentuk pola pikir kita atas dasar pengalaman inderawi yang bersifat materialistik. Bahkan menurutku penilaian benar dan salah pun adalah perkara sudut pandang. Tak ada yang benar dan tak ada yang salah, hanya cara pandangmu melihat suatu masalah. Sehingga dewasa ini masyarakat dibuat resah, masyarakat semakin ompong dalam berfikir. Kenapa ompong? Akan coba ku bahas dalam paragraph selanjutnya.
Media sebagai sasaran utama sumber informasi kian hari kian memberikan banyak sekali kabar berita entah baik ataupun buruk. Masyarakat dengan kemudahan akses semakin mudah menyerap informasi tersebut. Karena keompongan tadi segala bentuk informasi tersebut masuk tanpa dikunyah dan dicerna sebagai mana makanan yang masuk kedalam mulut dan dikunyah sekian kali sehingga saat masuk ke dalam usus menjadi lebih lembut dan mudah dicerna agar menyehatkan bagi tubuh.Â
Sama halnya seperti otak, agar terus menyehatkan bagi kehidupan informasi tersebut haruslah memasuki tahap mengunyah dengan membedah isi baik implisit maupun eksplisit, proses pengunyahan inilah yang menjadi kunci analitis dan kritis dalam menyikapi bentuk informasi, banteng ideologi dan pengetahuan yang kuat pun akan menjadi buffer dalam menyikapi hal semacam tadi.Â
Coba anda pikirkan Indonesia yang serumit ini sampai anda mengunyah beribu kalipun boleh jadi anda belum paham sepenuhnya. Bahkan seorang pakarpun masih kebingungan memahami Indonesia. masa kita sebagai masyarakat awam sudah berani menyerap informasi tersebut tanpa identifikasi terlebih dahulu. Terkadang kita terjebak dengan kepraktisan. Mengakses internet mudah, makan, tidur, jalan-jalan mudah, apalagi yang sulit? Nah ini lah yang menjadi momok utama ketumpulan berfikir. Karena kita tidak pernah dihadapkan dalam suatu keadaan yang mendesak dan memaksa kita untuk berfikir analitis.Â
Mengakses informasi pun sekarang dengan mudah membentuk cara berpikir. Seakan akan tidak punya waktu dan tidak punya tradisi untuk mencari tahu yang mana kalimat sindiran dan kalimat bukan sindiran. Bahkan bahayanya meskipun seseorang itu pelacur, namun cara bicara dan penampilannya seperti uztadzah dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang uztadzah. Â Sebaliknya ketika seorang ulama namun memberikan pemahaman yang sedikit kontradiktif maka dianggap sesat. Meskipun itu seekor kuda namun dia bicara bahwa dia katak, orang langsung yakin bahwa dia katak. Masyarakat hari ini sudah masuk dimana sangat mudah dipengaruhi oleh gaya bicara atau retorika. Sampai mengabaikan dialektis dialektis yang dibuat oleh pemikirannya sendiri.
Aku berpikir maka aku ada. Kalimat seperti ini harus menjadi dasar kuat bahwa segala sesuatu itu merupakan buah pikir dari individu masing-masing. Menurutku pola berfikir manusia secara alami hanya bicara sebab dan akibat, dari kedua itulah logika kita dimainkan bukan hanya sekedar sebab dan akibat tapi dari sebab dan akibat itu sendiri harus berdasarkan logika, maka selain yang aku sebutkan diatas berarti orang tersebut tidak berfikir.Â
Apa yang sesungguhnya kita harapkan dari keadaan yang kian hari kian menyiksa ini? Perbedaan pendapat, permusuhan, perpecahan, bahkan ironisnya pemilihan kepala daerah pun dapat berujung perpecahan baik ras maupun agama. Padahal pahlawan pahlawan terdahulu kita berjuang dengan darah dan keringatnya untuk membentuk persatuan yang hakiki ini, sedangkan sekarang dengan mudahnya kita meludahi perjuangan dari pahlawan-pahlawan terdahulu kita hanya dengan isu isu dari oknum yang menyesatkan ini? sampai kapan kita bernyanyi kepalsuan ini, berenang renang dalam ilusi perpecahan ini?Â
Sebenarnya diam diam didalam hatimu, hatiku, hati kita sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, namun keegoisan kolektif itulah menjadi dinding bagi terbukanya fikiran. Sekarang kita tinggal memilih akankah menjadi generasi ompong, atau diam diam menumbuhkan lingkaran lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi gigi yang kuat untuk masa depan.Â
Muhammad Fiqi Fadillah
Mahasiswa UNPAD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H