Mohon tunggu...
Fiqhifauzan Firdaus
Fiqhifauzan Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Cirebon, Jawa Barat

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Urgensi Mawas Diri Demi Stabilitas Sistem Keuangan

3 Juni 2019   13:36 Diperbarui: 3 Juni 2019   13:39 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Designed by Fiqhifauzan

Pilot

Dahulu kala, Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Republik Indonesia bertugas untuk menjaga kestabilan Rupiah, mengedarkan Rupiah, mengembangkan dan mengawasi urusan kredit. Selain itu, BI melakukan aktivitas komersial seperti memindahkan uang (via surat, telegram, dan wesel tunjuk), menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, mendiskonto surat wesel, surat order, surat utang dan aktivitas komersial lainnya.

Setelah krisis moneter tahun 1997-1998 aktivitas komersial tersebut dihentikan. Selanjutnya, BI diberikan independensi dan memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa (laju inflasi), serta terhadap mata uang negara lain (kurs). BI juga bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (mengendalikan jumlah uang beredar dan suku bunga), mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (tunai dan non-tunai), serta mengatur dan mengawasi Bank.

Pasca bail out Bank Century tahun 2008, kini tugas mengatur dan mengawasi Bank dan Industri Keuangan Non-Bank dilakukan oleh Otoritas Jasa keuangan (OJK) dalam lingkup kebijakan microprudential. Kebijakan microprudential berfokus pada kesehatan bank dan lembaga keuangan non-bank. Sementara itu, BI berfokus pada kebijakan macroprudential dalam sistem keuangan secara keseluruhan yang bersifat lintas sektor meliputi perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya.

Berpindahnya kebijakan microprudential ke OJK, tidak membuat posisi BI menjadi melemah dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Perkembangan pesat teknologi yang menyebabkan perubahan gaya hidup di masyarakat dalam bertransaksi dan mengakses informasi keuangan, semakin menguatkan posisi BI dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.

Ekonomi digital yang berbasis aplikasi menyebabkan perpindahan dan pergerakan uang berlangsung semakin cepat dan kompleks. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BI dalam melaksanakan tugasnya sebagai otoritas moneter yang menjaga kelancaran sistem pembayaran dan merumuskan kebijakan macroprudential.

Kebijakan macroprudential merupakan kebijakan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik dalam rangka memelihara keseimbangan sistem keuangan secara keseluruhan. BI memiliki Protokol Manajemen Krisis (PMK) untuk mencegah dan menangani krisis. Secara garis besar, dalam menangani krisis BI berperan sebagai Lender of Last Resort yang memberikan bantuan likuiditas. BI dapat melakukan intervensi pasar dalam mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT) untuk membantu menambah likuiditas (jumlah) Rupiah maupun valuta asing ke pasar uang.

Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi terganggunya distribusi likuiditas antar bank. Jika, kebutuhan likuiditas menyebabkan BI tidak membuka OPT, maka BI dapat memberikan standing/lending facility (fasilitas pinjaman) dengan tenor (jangka waktu) overnight (satu malam) dengan persyaratan agunan yang sama dengan mekanisme intervensi pasar.

Meskipun BI berperan sebagai otoritas utama yang mengatur kebijakan macroprudential, namun untuk mencapai stabilitas pada sistem keuangan nasional dibutuhkan peran dari lembaga-lembaga keuangan lainnya. Keseimbangan atau Stabilitas Sistem Keuangan Nasional dinaungi oleh lembaga-lembaga yang saling berkoordinasi dan melakukan pertukaran informasi, yaitu:

1. Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara dan otoritas fiskal.

2. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, sistem pembayaran, dan kebijakan macroprudential.

3. Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas perbankan, pasar modal, industri keuangan non-bank, dan kebijakan microprudential.

4. Lembaga Penjamin Simpanan sebagai otoritas penjamin yang menyelesaikan dan menangani bank gagal.

Empat lembaga tersebut membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Gubernur BI, Ketua OJK, Ketua LPS, dan dipimpin oleh Menteri Keuangan. FKSSK berkoordinasi langsung dengan Presiden dan DPR untuk mencegah dan menangani krisis. Koordinasi antar lembaga berperan penting untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan yang dibuat (policy trade-off).

Belajar Dari Krisis Global 2008

Dalam era globalisasi yang penuh ketidakpastian dan saling terhubung, perekonomian sebuah negara sangat dipengaruhi oleh negara lain, termasuk kerentanan dan risiko terhadap siklus krisis. Salah satu contoh krisis ekonomi yang berkaitan dengan Stabilitas Sistem Keuangan adalah Krisis Global 2008. Krisis ini disebabkan oleh Bank ternama asal Amerika Serikat, Lehman Brothers Bank yang memberikan kredit perumahan (KPR) kepada nasalah yang kurang layak, sehingga terjadi gagal bayar oleh nasabah dalam melunasi hutang kredit perumahan (Subprime Mortgage).

Lehman Brothers Bank melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan kegagalan bayar para nasabahnya, termasuk melakukan window dressing (mempercantik laporan keuangan). Laporan keuangan sangat penting, karena digunakan para stakeholder untuk menilai kinerja keuangan perusahaan. Hingga akhirnya, window dressing tersebut terungkap dan mengakibatkan krisis kepercayaan di Amerika Serikat.

Krisis kepercayaan menyebabkan penarikan modal-modal oleh para stakeholders sehingga Indeks Dow Jones (Bursa Efek) terjun bebas. Karena, penarikan modal tersebut dalam bentuk US Dollar sehingga mengganggu pergerakan nilai tukar US Dollar terhadap berbagai mata uang negara lain. Saat itu, pertumbuhan ekonomi AS pun pernah mencapai minus 2,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), terburuk sejak tahun 2000.

The Fed (Federal Bank) sebagai Bank Sentral Amerika Serikat, menetapkan suku bunga 0% untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, normalisasi perekonomian tetap membutuhkan waktu yang tidak singkat. Terlebih lagi, krisis ini disebabkan oleh krisis kepercayaan yang merupakan modal utama dan terpenting dalam dunia bisnis.  

Status Amerika Serikat sebagai negara Super Power yang memiliki pengaruh ekonomi, politik, dan sosial budaya di berbagai negara, serta status Lehman Brothers sebagai perusahaan multinasional yang memiliki anak perusahaan di berbagai negara, menyebabkan krisis global di tahun 2008. Mereka menularkan krisis yang bersifat sistemik dan menular. Bahkan, negara-negara maju pun ikut terkena dampaknya. Hingga puncaknya terjadi peristiwa Brexit (Britain Exit), yaitu keluarnya negara-negara Britania Raya dari keanggotan Uni-Eropa. Saat itu, kondisi sebagian besar negara Uni-Eropa yang mengalami krisis, dinilai sangat merugikan mereka (Britania Raya).

Pentingnya Stabilitas Pada Sistem Keuangan

Krisis global 2008 ini adalah salah satu contoh kegagalan dalam mendeteksi adanya potensi risiko sistemik dari transaksi kredit perumahan (Subprime Mortgage). Subprime Mortgage ini menyebabkan ketidakstabilan di dalam sistem keuangan, sehingga terjadi krisis sistemik yang menular ke negara-negara lain. Krisis pada tahun 1997-1998 di Indonesia juga disebabkan oleh krisis sistemik yang ditularkan oleh negara-negara Asia, terutama di kawasan Asia Tenggara.

Risiko sistemik merupakan risiko yang dapat menghilangkan kepercayaan publik dan meningkatkan ketidakpastian dalam sistem keuangan, sehingga sistem keuangan tidak dapat berjalan dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian. Risiko sistemik ini dapat berasal dari sektor moneter, keuangan, riil, atau pemerintah.

Sementara itu, sistem keuangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non-keuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan pembiayaan perekonomian. Stabilitas pada sistem keuangan yang efektif dan efisien akan membantu dalam menghadapi kerentanan (vulnerability) internal dan eksternal. Stabilitas pada sistem keuangan juga membantu kelancaran alokasi sumber pendanaan dan pembiayaan, sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian sebuah negara.

Salah satu contoh pencegahan dan penangan risiko sistemik di Indonesia adalah bail out Bank Century di tahun 2008. Saat itu, Bank Century mengalami krisis likuiditas akibat penarikan modal oleh nasabah besar yang bernilai besar, sehingga mengajukan bantuan likuiditas. Hal tersebut berpotensi menyebabkan krisis sistemik yang menular ke Bank-Bank lain, karena pada dasarnya antar bank memiliki aktivitas yang saling berhubungan, seperti bertransaksi, pinjam meminjam modal, dan aktivitas lainnya. Oleh karena itu, terjadi bail out (bantuan pemerintah) Bank Century untuk mencegah terjadinya krisis dan merugikan negara lebih lanjut.

Mawas Demi Stabilitas

Setelah mengetahui pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Macroprudential dari contoh-contoh diatas, maka penulis mengajak pembaca untuk lebih peduli terhadap pengelolaan atau mitigasi risiko. Kita dapat berkontribusi dalam menjaga dan memelihara Kestabilan Sistem Keuangan dengan hal-hal sederhana.

Misalnya, kita tidak berhutang yang melebihi jumlah pendapatan atau kemampuan bayar. Apabila pendapatan dalam sebulan Rp.5.000.000, maka janganlah mengambil cicilan kredit atau hutang yang mendekati, mencapai, atau bahkan melebihi Rp.5.000.000, kecuali bersifat mendesak. Itu alasan utama adanya pembatasan dan syarat-syarat dalam mengajukan kredit atau hutang ke lembaga yang diawasi. Hal tersebut adalah contoh sederhana dari pengelolaan resiko. Kita tidak bisa berspekulasi dan bergantung pada kata-kata "Rezeki sudah ada yang mengatur", jika kita tidak bisa mengaturnya.

Kondisi keuangan setiap individu yang sehat akan sangat berkontribusi bagi stabilitas keuangan di sebuah negara. Kondisi keuangan yang sehat juga berfungsi untuk mencegah dari berbagai macam krisis yang datang. Krisis seringkali datang pada saat yang tidak terduga. Sehingga, kondisi keuangan individu yang sehat, akan sangat membantu untuk mencapai kestabilan saat krisis melanda.

Selain itu, di era globalisasi yang penuh kemudahan, terutama kemudahan dalam mengakses informasi, maka penulis juga mengajak pembaca untuk bersama-sama bersikap lebih prudent (hati-hati) atau mawas diri. Bersikap mawas diri terhadap hal-hal negatif dan informasi yang belum pasti kebenarannya (hoax), juga akan sangat berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan mencegah terjadinya krisis. Namun, mawas diri bukan berarti menjadi penakut dalam mengambil risiko. Berpikir, berhitung, dan bertanya atau melakukan riset-riset kecil adalah aktualisasi pengambilan risiko yang tepat.

Referensi

2013. Materi Kebanksentralan. Jakarta: Bank Indonesia

2016. Mengupas Kebijakan Makroprudensial. Jakarta: Bank Indonesia

Kompas  

Blog Pribadi  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun