Percakapan itu membuat kehidupan mereka menjadi sedikit rumit. Fikri mencoba menerima kenyataan bahwa Icha hanya melihatnya sebagai sahabat, sementara Amin yang selama ini terus menyimpan perasaannya, semakin kesulitan untuk menyembunyikannya.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan di antara mereka bertiga semakin terasa. Mereka mencoba menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa, tetapi ada ketidaknyamanan yang mengintai. Setiap senyum, setiap tatap mata, terasa berbeda dan sarat dengan arti yang tersembunyi.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang bekerja sama merencanakan sebuah pameran seni desa, Amin menyadari bahwa dia tidak bisa lagi menyimpan perasaannya sendiri. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Fikri.
"Fik, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," ucap Amin dengan wajah yang penuh keraguan.
Fikri yang merasa sudah mengalami kekecewaan sebelumnya, menatap Amin dengan cemas. "Apa itu, Amin?"
"Aku juga memiliki perasaan pada Icha, Fik. Aku tahu ini sulit, terutama karena kita sahabat baik, tapi aku tidak bisa terus menyembunyikannya. Aku ingin jujur padamu," ungkap Amin dengan suara yang penuh dengan penyesalan.
Fikri merasa kembali dihantam oleh kenyataan yang tak terduga. Dia merasakan adanya pertarungan batin di dalam dirinya, antara keinginan untuk mempertahankan persahabatan atau merelakan hati Icha untuk Amin.
"Mungkin ini adalah ujian bagi kita semua. Bagaimana kita mengelola perasaan ini tanpa merusak segalanya?" ujar Fikri dalam keheningan.
Mereka berdua saling menatap, merenung tentang arah yang akan mereka ambil. Cinta segitiga di antara Fikri, Icha, dan Amin menjadi ujian kekuatan persahabatan mereka. Apakah mereka mampu melewati ujian ini dan tetap menjaga keharmonisan dalam kegiatan pengabdian di desa kecil mereka? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H