Mohon tunggu...
Fionna Marsa Belinda
Fionna Marsa Belinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

love to finding new things and pursuing interesting theories or facts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikikomori: Saat Tekanan Sosial Mendorong Seseorang ke Dalam Keterasingan

19 Juli 2024   13:55 Diperbarui: 19 Juli 2024   14:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/2AzIKspkQ

Jakarta, 19 Juli 2024—Fenomena hikikomori ini masih menjadi hal yang jarang sekali dibahas di kalangan Masyarakat Indonesia. Namun, di beberapa negara seperti negara yang dijuluki sebagai 'Negeri Sakura' yang indah dan 'Negeri Ginseng' sangat ramai dipenuhi dengan fenomena hikikomori ini. Kata hikikomori sendiri mungkin masih sangat asing di telinga Masyarakat pribumi, hanya sebagian individu saja yang mengetahuinya terutama para penggemar anime, band jepang, dan beberapa individu yang 'addicted' dengan hal-hal mengenai Jepang.

Hikikomori (引き篭もり) sendiri berasal dari Bahasa Jepang yaitu hiku (引く) yang berarti "menarik" dan komoru (篭もる) yang berarti "menutup diri." Menurut psikiater Tamaki Sait, istilah hikikomori merupakan sebuah fenomena yang menjadi perhatian serius di Jepang, terutama para generasi muda yang menarik atau mengurung diri dan tidak ikut serta di dalam kehidupan sosialnya dalam jangka waktu enam bulan atau lebih. Akan tetapi, masalah kejiwaan bukanlah masalah utamanya dalam isu ini. Fenomena ini menjadi lebih terkenal Ketika psikiater Tamaki Sait menerbitkan bukunya yang memiliki nama "Social Withdrawal (shakaiteki hikikomori): A Neverending Adolescence" sekitar tahun 1998.

Survei epidemiologi Organisasi Kesehatan Dunia di Jepang antara tahun 2002 dan 2006 menemukan bahwa 1,2% populasi pernah mengalami penarikan diri dari lingkungan sosial (hikikomori) untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan, survei menyatakan bahwa individu yang mengalami hikikomori berusia 15 hingga 49 tahun. Namun, angka ini mungkin hanya sebagian dari angka keseluruhan populasi yang terdeteksi hikikomori. Dari data survei yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa fenomena ini menjadi masalah yang cukup serius terhadap kehidupan sosial masyarakat penduduk Jepang. Dari seluruh data epidemiologi yang dikumpulkan, setelah diamati jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan selisih 3:1 atau lebih. Isu tersebut menunjukkan adanya perbedaan gender yang signifikan.

Kita perlu mengetahui bahwa fenomena ini berawal dari tekanan sosial yang mengakibatkan seseorang menarik dirinya dari pergaulan sosial. Merasa ingin bersembunyi sesaat merupakan hal yang lazim karena dapat mengurangi stres dan membantu mengatasi penyakit, rasa lelah, dan tekanan tertentu. Isolasi sementara juga mendukung adanya perkembangan pribadi, tetapi isolasi yang berkepanjangan dapat berubah menjadi sikap menarik diri yang ekstrem sehingga akhirnya menyulitkan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya. Hal tersebut tentu sangat perlu untuk diwaspadai dan dihindari. Sebenarnya mengapa fenomena isolasi diri berdampak buruk bagi kesehatan dan menjadi salah satu masalah sosial? Apa yang membuat individu akhirnya memutuskan untuk mengisolasi diri dari kehidupan sosialnya? Mari kita Simak beberapa penyebab dan cara pengatasan fenomena hikikomori ini.


Penyebab Isolasi Sosial (Hikikomori)

Setelah mengetahui seberapa mengganggunya fenomena hikikomori bagi diri sendiri dan masyarakat, tentunya kita perlu mengetahui apa saja faktor penyebab seseorang mengalami fenomena hikikomori. Untuk mengetahui apa alasan seseorang menjadi pelaku hikikomori, beberapa peneliti menggunakan teori fenomenologi. Fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia (Hajaroh, 2013:09). Umumnya, hikikomori disebabkan oleh 'toxic shame' atau rasa malu yang berlebih akibat ekspektasi atau tujuan yang tidak dapat dipenuhi. tekanan sosial, seperti tekanan akademis dan karir. Terdapat 4 kategori yang dapat menjelaskan faktor penyebab terjadinya perilaku hikikomori:

1. Faktor lingkungan sekolah, yakni Ijime (苛め) atau bullying, sistem pendidikan yang terlalu kompetitif, dan kegagalan dalam menempuh ujian,

2. Faktor keluarga, menjadi anak tunggal yang terus diperhatikan sehingga memiliki kekurangan waktu dalam bersosialisasi, tuntutan dari orang tua, kurangnya kesejahteraan keluarga, dan the child's room.

3. Faktor lingkungan sosial, media massa atau audio visual, tradisi, dan hubungan interpersonal dengan tetangga.

4. Faktor individu, menurut para ahli pengaruh dalam diri memiliki korelasi dengan penyakit mental, autisme, depresi, kecemasan sosial, dan agorafobia (rasa takut berlebihan).

Fakta lain yang merujuk pada orang dewasa hikikomori, faktor otak (biologis) menjadi sorotan utama. Psikiater Jepang menganggap faktor psikosis, suasana hati, dan kepribadian sebagai penyebab yang memiliki kedudukan setara, sementara psikiater di negara lain menganggap faktor suasana hati dan kepribadian sebagai faktor yang lebih signifikan, terutama pada remaja hikikomori. Faktor psikosis diangkat khususnya pada remaja hikikomori oleh psikiater di India, Iran, Korea, Amerika Serikat, dan Jepang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun