Jurnalis hanya seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, beberapa pelanggaran pasal dalam kode etik jurnalistik kerap dilanggar dalam pemberitaan media online.Â
Secara umum kode etik jurnalistik merupakan pedoman pekerjaan bagi jurnalis untuk dapat bertanggung jawab dan menentukan baik buruknya dalam tindak pekerjaan jurnalis.
Demi menaikan insight para pembaca dan rating berita, jurnalis terkadang sengaja atau tidak sengaja melakukan pelanggaran kode etik tersebut. Salah satu pelanggaran tersebut mengenai pasal 5 tentang menyiarkan identitas korban kejahatan asusila.
Dalam artikel ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai 3 topik, yaitu  beberapa kode etik jurnalistik yang sering dilanggar pada media online, Dua dampak dari pelanggaran kode etik jurnalistik, contoh pemberitaan korban kejahatan asusila yang benar.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pada Media online
Berbicara mengenai pelanggaran kode etik jurnalistik pada media online, etika operasional media online disebut Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS).Â
PPMS sebenarnya bukanlah aturan yang berdiri sendiri, atau hanya terpisah dari aturan pers yang ada. Dalam kaitannya dengan praktik jurnalistik, PPMS tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik yang berlaku.Â
Secara teknis dan praktis, pers cetak, penyiaran atau berbasis internet mengacu pada etika pers yang sama.
Anggota Dewan Pers Jamalul Ikhsan menyatakan banyak menerima pengaduan pemberitaan mengenai konfirmasi dan verifikasi ulang. Dari data Dewan Pers, sebanyak 641 pengaduan terdapat di tahun 2016, di tahun 2017 sebanyak 626 pengadu, dan tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 558 pengaduan.
Sebagian besar kasus pengaduan tersebut berakhir dengan keputusan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) baik dari media maupun jurnalis.
Pasal 1 dan pasal 3 mengenai tidak berimbang, tidak akurat, dan tidak konfirmasi merupakan kode etik jurnalistik yang sering dilanggar.Â
Selain itu, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (EKJ) tentang jurnalis Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan, merupakan pasal yang banyak dilanggar oleh media dan jurnalis.
Pelanggaran ketiga pasal ini saling berhubungan, karena jurnalis bisa saja memberikan informasi korban asusila kepada media tanpa melakukan konfirmasi dan verifikasi kepada pihak terkait.
Dampak Pemberitaan Media yang Melanggar Etika Asusila
 Penafsiran dari pasal 5 KEJ, pelanggaran menyiarkan identitas korban dilarang untuk tidak memudahkan orang lain orang melacak. Karena pada faktanya banyak jurnalis yang masih menuliskan identitas korban asusila seperti alamat, nama orang tua, tempat bekerja dan informasi lainnya.
Dalam pelanggaran pasal 5 KEJ ini terdapat 2 dampak yang dapat saya sampaikan kepada anda yaitu mengenai penurunan kepercayaan dan bocornya identitas pribadi korban.
1. Â Â Menurunnya Kepercayaan Masyarakat
Banyaknya pemberitaan di media online yang secara terang-terangan tidak memuat informasi yang layak diberikan kepada masyarakat. Membuat rendahnya persentase angka kepercayaan publik terhadap media digital di Indonesia.
Reuters Institute melihat dalam laporan Digital News Report 2021 menyatakan bahwa peningkatan persentase kepercayaan publik di negara seperti Hongkong, Malaysia, Jepang, Australia, Singapura dan Thailand justru meningkat.
Kepercayaan sebuah media akan diukur berdasarkan nilai berita, informasi yang disampaikan, dan kredibilitas nya. Lalu apa nilai berita dan informasi yang didapat dari pemberitaan media yang melanggar pasal 5 KEJ?
Tentunya informasi dan nilai berita yang melanggar pedoman kode etik jurnalistik tidak dapat dibenarkan. Dampaknya selain membuat korban kejahatan asusila trauma, Â penyebaran informasi pribadi tanpa adanya konfirmasi dari pihak terkait merupakan kesalahan yang besar.
Pemberitaan mengenai sesuatu hal yang berbau pornografi dan kejahatan asusila seringkali menjadi buah bibir bagi audiens dan materi menarik bagi jurnalis media online. Sehingga nilai berita dan informasi yang disampaikan tidak begitu penting namun sangat disukai oleh audiens.
2. Â Â Tersebarnya identitas pribadi korban
"Jurnalis dan Hati Nurani"
Mari kita kembali mengingat masa lalu tepatnya pada tahun 2016 untuk memperlihatkan anda mengenai bagaimana media dan jurnalis pada saat itu tanpa sadar telah melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Media online Liputan6 merupakan salah satu media yang memberitakan mengenai korban kejahatan asusila dengan tidak merahasiakan nama, alamat rumah, sekolah. Selain korban, 14 pelaku yang disebutkan hanya 4 nama yang menggunakan inisial penyamaran.
Selain tidak merahasiakan identitas korban, judul dalam artikel media menggunakan nama korban "Kronologi Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu"
Melihat hal ini dapat kita lihat media dan jurnalis tidak tanggung-tanggung memberitakan sebuah kasus yang dapat menguntungkan media tanpa memikirkan perasaan keluarga korban. Sehingga pembicaraan mengenai meninggalnya remaja Y (14) menjadi bukan hal yang lazim lagi.
Contoh Berita Korban Kejahatan Asusila yang Benar
Salah satu contoh kasus yang dapat menggambarkan kebenaran memberitakan mengenai korban kejahatan asusila yaitu pernyataan dari korban pelecehan di kantor KPI pusat oleh media Kompas.com.
Foto pernyataan korban yang diunggah oleh akun Instagram @Folkative menuai banyak perbincangan, komentar pedas dari netizen terhadap pelaku kejahatan dan lain sebagainya.
Pasalnya isi dari foto menyatakan bahwa korban dengan inisial MS sering mendapat bully dari teman sekantornya, selama dua tahun mendapatkan perlakuan tersebut dirinya sempat mengalami depresi, dan kesehatan mental yang terganggu. Pengaduan ke atasan sudah MS lakukan namun tidak ada respon
Bertahan demi keluarga kecil yang MS miliki, ia rela mendapat perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerjanya. Karena perasaan menyakitkan selama 2 tahun yang ia selalu bendung tak bisa ia tahan, kini ia luapkan dengan detail dan menyebutkan nama serta jabatan para pelaku kejahatan asusila dan bully pada foto tersebut.
Akibat dari konstannya pemberitaan mengenai kejahatan asusila di KPI pusat, audiens menjadi terpengaruh untuk mengikuti pemberitaan tersebut dan menjadi mengebaikan berita lainnya.
Kompas menjadi salah satu media yang menyorot kasus ini dengan tidak menampilkan informasi identitas korban asusila yang diberi inisial MS, alamat rumah, dan informasi lainnya.
Maka, Kompas merupakan salah satu pemberitaan yang tidak melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengenai penyiaran korban asusila.
KESIMPULAN
Pada akhirnya  Jurnalis harus menjadikan kode etik jurnalistik sebagai pedoman mereka, karena dalam kenyataannya jurnalis-jurnalis lebih memikirkan keuntungan ketimbang isi berita yang akan diserap oleh masyarakat.
Memang benar jika masyarakat lebih menyukai hal-hal yang berbau sensasi dan tanpa sensor, akan tetapi pertimbangan dan kebijakan tetap harus dilakukan oleh jurnalis.
Terlebih lagi informasi yang seharusnya menjadi sebuah rahasia, media dengan mudahnya mengungkap dengan detail mengenai informasi identitas atau bahkan hal yang seharusnya tidak boleh disiarkan sesuai dengan hukum yang berlaku dari kode etik jurnalistik.
Pada media online, kode etik jurnalistik tetap harus ditetapkan sebagai pedoman jurnalis online dalam menyiarkan pemberitaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H