Mohon tunggu...
Vinito Rahmat Febriano
Vinito Rahmat Febriano Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Hamba sahaya bagi kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

India dan Muslim Indonesia : Antara Apatisme dan Overreacting

29 Februari 2020   12:20 Diperbarui: 29 Februari 2020   14:16 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menaruh perhatian besar terhadap hampir semua konflik yang menimpa umat muslim di seluruh dunia adalah sikap yang wajar untuk dilakukan oleh komunitas muslim terbesar di dunia ini, muslim Indonesia. Kita tidak bisa lupa dengan betapa perhatiannya masyarakat muslim kita dengan konflik yang terjadi di Suriah sejak tahun 2013 silam. Contoh lain, konflik antara Myanmar dengan etnis muslim Rohingya yang berada di wilayah Arakan, tidak jauh dari perbatasan Myanmar-Bangladesh, yang sampai menarik perhatian pemerintah Indonesia untuk mengulurkan bantuan besar-besaran. Baru-baru ini, berita mengenai kerusuhan, persekusi, hingga kejahatan lainnya yang dilakukan oleh ultra-nasionalis India terhadap kelompok muslim di India sampai di telinga kita. Kita tak mau ketinggalan bersimpati terhadap komunitas muslim yang menjadi korban persekusi. Berbagai tindakan dilakukan umat muslim Indonesia, mulai kalangan biasa, selebriti, hingga mubaligh kondang,  untuk menunjukkan sebetapa peduli umat muslim Indonesia, seperti meramaikan hashtag hingga membuat konten di YouTube ataupun Instagram. Saling peduli terhadap nasib sesama muslim merupakan kewajiban dari setiap muslim dan amanah dari Rasulullah Saw, tapi apakah sikap yang kita tunjukkan selama ini sudah benar?

Kebanyakan di antara kita serta merta menyatakan bahwa apa yang terjadi di Suriah hingga India adalah konflik agama yang murni didasari oleh kebencian atas Islam. Sebagian besar dari kita percaya bahwa konflik berkepanjangan di Suriah yang masih berlangsung hingga saat ini adalah perang antara Islam Sunni dengan Syiah. Meskipun apa yang terjadi di Suriah kini telah menjadi "adu kejantanan" negara-negara adidaya : Amerika, Rusia, Turki, Israel, dan Iran. Begitu pula dengan apa yang terjadi di India. Celakanya, kita beberapa kali salah menunjukkan sikap atas apa yang terjadi pada kaum muslimin di India. Beberapa waktu lalu, tagar "#Hindu_Is_Terrorist" ramai di media sosial Twitter. Dengan santainya kita meramaikan tagar yang memukul rata semua umat Hindu di dunia tersebut, tak terkecuali Hindu Dharma di Bali, sebagaimana orang-orang yang percaya bahwa "Not all muslims are terrorists, but all terrorists are muslim" yang sama bodohnya. Kita hanya tahu bahwa xenofobik adalah satu-satunya sikap yang bisa kita berikan. Kita tidak mau tau bagaimana umat Hindu dan Sikh yang masih percaya dengan "persatuan India" yang digagas Mahatma Gandhi, melindungi umat muslim di New Delhi selama kerusuhan hingga memempertaruhkan nyawanya. Tidak ada asap jika tidak ada api. Di dunia modern yang serba kompleks, sesuatu tidak terjadi dengan alasan yang sederhana. Oleh karena itu, mengetahui akar dari suatu perkara penting agar tidak mudah tersulut api.

Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak di dunia, jika kita memisahkan Kristen Katolik, Ortodoks, dan Protestan satu sama lain. Umatnya menyebar ke seluruh dunia, mulai dari Maroko di ujung barat hingga Turkistan Timur di Tiongkok, ditambah kepulauan Nusantara. Ini belum termasuk diaspora mereka ke Eropa, benua Amerika, dan penjuru dunia lainnya. Timur Tengah, yang menjadi jantung agama Islam, adalah permadani minyak dan gas alam bagi dunia. Terusan Suez, Selat Bosphorus, dan Selat Malaka, adalah simpul utama jalur perdagangan dunia. Tidak salah jika ada yang mengatakan, "Siapa yang mendapat hati muslim, dia yang memenangkan dunia".

Hal ini yang mendasari bangsa Barat untuk mempreteli umat Islam sejak zaman Turki Usmani hingga kini. Mempermainkan perasaan umat muslim yang mereka nilai "terlalu sensitif" adalah cara terbaik untuk mengalihkan pandangan dari apa yang seharusnya kita waspadai. Militan-militan yang saat ini subur di Irak, Suriah, Nigeria, dan belahan bumi lainnya merupakan sebagian dari keberhasilan mereka dalam memprovokasi umat sehingga kehilangan daya berpikir jernihnya. Ini belum termasuk koar-koar di media sosial yang mengalihkan pandangan kita dari apa yang selama ini melalaikan kita dari Allah Swt sekaligus tangan-tangan musuh-musuh Islam yang mencari keuntungan di tengah situasi yang ada. Sebut saja betapa ramainya orang yang jarang beribadah dan lalai dari apa yang diperintahkan Allah Swt yang bersemangat menggelora hashtag pray for ini, pray for itu, sementara kekuatan-kekuatan besar mencari keuntungan melalui perdagangan alutsista dan permainan politik xenofobik, sebagaimana Amerika Serikat memanfaatkan kasus Uyghur untuk melemahkan Tiongkok, rival sejatinya di era modern. Hal yang perlu ditekankan dari ini adalah pengendalian nafsu dan berpikir jernih penting agar kita justru tidak menjadi boneka dari kekuatan-kekuatan yang ingin melemahkan kita, terlepas dari sahnya menunjukkan simpati kepada saudara seiman kita.

Allah Swt berfirman dalam QS Ali Imran ayat 103 yang artinya, "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk." Ayat ini merupakan perintah langsung kepada umat muslim di seluruh dunia untuk saling bergandengan tangan, bersatu, dan saling peduli satu sama lain. Setiap muslim bagaikan satu bangunan yang saling mengukuhkan satu sama lain. Kita harus membenarkan tindakan umat muslim yang menyisihkan sebagian harta untuk membantu sesamanya. Kita harus memaklumi sikap umat muslim yang menentang pelecehan hingga penindasan terhadap Islam dan penganutnya di seluruh dunia. Sebab, itu memang perintah langsung dari Allah Swt kepada setiap muslim. Mengukuhkan persaudaraan adalah kunci dari kekuatan umat dan semangat memajukan peradaban lah yang membesarkannya. Hal ini sama dengan masa ketika seluruh negara-negara Kristen bersatu untuk melindungi Yerussalem dan Konstantinopel, yang bahkan bukan kota mereka, dari gempuran kaum muslimin selama Perang Salib. Sebuah tindakan yang mungkin sebagian dari kita berpikir, "Buat apa? Bahkan itu bukan punya kita." Seperti itulah gambaran dari persaudaraan umat yang mungkin tidak dimengerti beberapa orang.

Oleh karena itu, salah bagi mereka yang menyinyiri sikap umat muslim di Indonesia yang bersimpati atas kemalangan yang menimpa saudara seiman mereka di belahan dunia lain. Menyebut umat muslim "mabuk agama" atau melontarkan kalimat "kita aja dizolimi tidak pernah marah, masa yang katanya agama damai begitu saja marah" sama saja kita menghalangi saudara sebangsa untuk menunaikan apa yang menjadi nilai dasar sekaligus amanat sila pertama dan kedua Pancasila, yaitu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Membandingkan umat muslim dengan umat beragama lain tidak akan membuat diri menjadi pejuang toleransi, justru tindakan tersebut sama saja membenturkan antar umat beragama. Lebih lanjut, mereka yang tidak menunjukkan simpati terhadap kejahatan kemanusiaan, terutama sesama muslim, terhadap apa yang terjadi di India maupun yang lainnya, sama saja mematikan hati mereka. Apabila ini terjadi pada umat muslim, keteguhan dan kesungguhannya dalam berislam sejatinya patut dipertanyakan. Setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan serta bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi pada saudara kita, terutama saudara seiman, jelas melanggar kodrat manusia sebagai zoon politicon.

Akan tetapi, berpikir jernih, kritis, dan tabayyun tetap menjadi hal yang wajib kita perhatikan dalam menentukan sikap, bukan perasaan semata. Jangan sampai kita pikiran kita buyar terhadap apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan, sehingga kita justru membawa gesekan yang terjadi di India tersebut ke Indonesia. Apa yang dirasakan umat Hindu di Bali ketika umat muslim di Indonesia dengan frontalnya memvonis Hindu sebagai teroris sejatinya sama dengan apa yang dirasakan umat muslim saat pendukung Brenton Tarrant mengiyakan tindakan Brenton sambil berseru, "Muslims are terrorists." Hasrat yang muncul pada diri kita untuk menghukum orang India tidak ada bedanya dengan mereka yang menghajar umat muslim India yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan orang-orang yang menentang revisi  UU Kewarganegaraan India yang digelorakan oleh kelompok ultranasionalis India, baik di parlemen India maupun di jalanan. Jangan sampai sikap yang digelorakan dengan semangat kemanusiaan dan persaudaraan justru mengorbankan hati nurani dan malah menyeret kita masuk ke dalam lingkaran kemelut murka yang sejatinya lahir dari emosi yang sudah kelewatan.

Menyatakan sikap berseberangan dengan penindasan, persekusi, dan kejahatan kemanusiaan lainnya merupakan tanggung jawab kita semua, manusia yang merupakan zoon politicon. Sebagai muslim, peduli dan bergerak menolong saudara seiman adalah perintah langsung dari Allah Swt dan amanat Rasulullah Saw. Kita semua turut berduka atas apa yang terjadi di India. Tidak pantas bagi kita untuk bersikap apatis terhadap nasib kelompok muslim di India yang mengalami persekusi dari kelompok ultranasionalis India, apalagi sampai menyinyiri orang-orang yang menunjukkan simpati, seperti orang yang tidak punya hati. Akan tetapi, jangan sampai kita malah menyatakan sikap yang sejatinya sama saja dengan kelompok ultranasionalis tersebut. Xenofobia, bagaimana pun tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, kita tidak bisa memukul rata semua orang India atau bahkan Hindu mendukung apa yang dilakukan ultranasionalis India selama ini. Bersimpati terhadap kejahatan kemanusiaan adalah kewajiban, namun berpikir jernih dan kritis serta tidak melandasi sikap kita dengan emosional belaka juga perlu kita lakukan untuk mencegah lahirnya kelompok sejenis ultranasionalis India di Indonesia yang tetap aman dan tentram. Selain itu, hal penting lainnya adalah jangan bersikap sok tau dan hati-hati terhadap segala informasi yang mengatasnamakan penduduk setempat. Mengumpulkan beberapa sumber informasi kemudian menyaring dan membandingkannya adalah cara terbaik untuk menghindari misinformasi sehingga kita memutus rantai hoax dan mengurangi jumlah orang yang salah paham.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun